Kisah Kami dan PKBM (Catatan PKBM Bagian 1)

Ijazah adalah hal yang paling sering jadi momok bagi teman-teman yang baru mau memulai homeschooling. 

Sama kok, kami juga seperti itu pada awalnya. Kekhawatiran tentang langkah-langkah kehidupan yang banyak dikaitkan dengan ijazah.

Nah, ijazah ini sangat terkait dengan PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat) atau SKB (Sanggar Kegiatan Belajar). 

Tapi pembahasan ini terasa berat untuk dituliskan. Sepertinya sebabnya adalah karena:

  1. Aku sendiri bukan orang yang paham betul hal-hal yang terkait birokrasi semacam ini. 
  2. Kisah kami dengan PKBM ini pun berliku-liku. Yang pada akhirnya aku merasa gak bisa langsung memberi info berupa poin-poin untuk dijalankan.
  3. Ternyata, pembahasan tentang PKBM sangat terkait dengan proses belajar seorang homeschooler itu sendiri. 

Ini semua gak bisa dituangkan dalam satu tulisan. Sebenarnya, aku pernah menulis sekilas tentang ini, tapi waktu itupun sebenarnya masih minim info dan pengalaman real terkait PKBM.

Jadi, insya Allah, aku cerita aja semua liku-liku itu ya. Semoga dari situ nanti insya Allah bisa diambil berbagai info dan kesimpulan terkait PKBM atau SKB.

Awal Homeschooling

Kami sudah memutuskan homeschooling sejak Ziyad usia 3,5 tahun. Sempat mencicipi memasukkan Ziyad selama 6 bulan di TK. Kemudian memutuskan untuk melanjutkan proses homeschooling kami.

Memasuki usia SD, tentu saja banyak pertanyaan dan kekhawatiran. Gak ada tempat bertanya dari orang yang kami kenal yang benar-benar telah melalui sampai tahap lulus SD. 

Tapi karena sudah merasakan berbagai hal positif dari hasil homeschooling bersama anak-anak, alhamdulillah kami memutuskan tetap melanjutkan kegiatan homeschooling kami. 

Belajar dari Kisah Orang Lain bersama PKBM

Di awal-awal proses pencarian info tentang ijazah, aku  menemukan referensi yang menceritakan proses anaknya ujian di PKBM.

Kesimpulan yang aku tangkap waktu itu adalah anak bisa didaftarkan di PKBM minimal setahun sebelum waktunya si anak Ujian Nasional. Supaya si anak mendapat nomor induk siswa. Nomor induk itu nanti akan digunakan saat anak ujian. Intinya, butuh proses untuk mendapatkan nomor induk itu. Supaya gak dadakan.

Dari referensi itu, keluarga tersebut menceritakan proses anaknya ngebut mengejar berbagai materi pelajaran sekolah dalam satu tahun. Mendekati waktu ujian, sang anak di tes susulan untuk nilai rapot SD-nya. 

Aku gak suka cara itu dan gak merasa cocok. Karena yang namanya pendidikan itu sebaiknya gak pakai “sistem kebut”. 

Kejar Paket

Di sisi lain, kami mengetahui sedikit tentang kejar paket. Dimana ada keluarga yang sudah berusia lanjut melakukan proses kejar paket C.  Dan sistem kejar paket ini sebenarnya sebagai jalan keluar bagi anak yang putus sekolah bisa mendapatkan ijazah dengan mengikuti program kejar belajar dan ujian yang dijalankan oleh SKB atau PKBM. 

Connecting The Dots

Dari sini dua kisah di atas, aku justru menjadi lebih tenang ketika mulai menjalankan homeschooling. Karena pada intinya, masalah ijazah ini insya Allah terbuka kapan saja dan bagi siapa saja. 

Poin yang sangat aku tanamkan sejak awal adalah berarti yang penting anak belajar. Yang jika terkait ijazah, berarti anak-anak mempelajari materi-materi  pelajaran yang akan diujikan. Tentu saja tidak dengan sistem kebut. Semuanya bertahap. 

Alhamdulillah, selama membimbing dan mendidik anak untuk materi-materi pelajaran SD, kami tetap bisa menjalankan pendidikan sesuai visi misi keluarga insya Allah. 

Ijazah Paket

Cobaan terkait ijazah ini adalah ketika ujian paket ini dipandang sebelah mata karena berarti hasil ijazahnya sama kaya anak putus sekolah ^^.  Kesannya jadi “lebih rendah”. 

Mungkin akan ada orang-orang yang memandang aneh keputusan kita untuk melakukan homeschooling dari sisi ini. Bagi beberapa orang, dia gak mau banget kalau anaknya dapat ijazah paket A. Dia gak mau anaknya “sejajar” dengan anak putus sekolah. 

Jadi, get ready kalau ada sudut pandang seperti ini ya. 

Padahal, ini tergantung mindset masing-masing ya. Masalah “level-levelan” ini benar-benar bisa membuat keputusan yang kurang bijak bahkan fatal. Buat membantu memperjelas masalah ukuran ini, ingat kisah iblis yang merasa lebih tinggi daripada manusia karena tercipta dari api.  Siapa juga yang ngasih ukuran api lebih tinggi dari tanah? Sejak kapan api lebih bagus, lebih prestise dari tanah?

Padahalnya lagi, sebenarnya ada  juga pondok-pondok yang ujiannya juga masih ikut ke PKBM atau SKB tertentu. Bedanya dilakukan bersama dan diurus oleh pondok yang bersangkutan. 

Sekali lagi, ini tentang mindset atau cara pandang 🙂 Jadi, insya Allah gak perlu merasa down kalau ada yang memandang seperti ini ya.

Komunitas Homeschooling

Saat kami memasuki tahun kedua menjalankan homeschooling, ada beberapa teman yang anaknya memasuki masa usia SD. Yang akhirnya, teman-teman ini membuat semacam kelompok belajar homeschooling atau bisa dibilang homeschooling majemuk.

Alhamduilllah, seperti mendapat angin segar. Ada kawan. Ada teman seperjuangan. Ditambah lagi, mereka juga sudah concern dari awal tentang PKBM. Sudah langsung kontak dengan PKBM tertentu (sebut saja PKBM T). Karena beberapa kali mengadakan pertemuan bersama teman-teman tsb, jadi bisa melengkapi kekuranginfoan aku tentang PKBM.

Aku sempat memfotokopi rapot dari PKBM T. Abang juga sudah mendatangi langsung PKBM tersebut dan menceritakan kegiatan homeschooling kami. Alhamdulillah PKBMnya memang insya Allah juga fleksibel dan sesuai info yang aku dapat, bisa mendaftar saat nanti Ziyad kelas 5.

PKBM ini memang sesuai harapan kami banget. Bisa mandiri belajar dan bisa mengisi rapot mandiri. Nanti, rapot tersbut bisa dicap di PKBM tersebut tiap semesternya. 

Karena lokasi aku jauh dari PKBM T, akhirnya yang aku lakukan sekedar berusaha konsisten mengisi nilai-nilai yang aku dapatkan dari proses bersama Ziyad. Semua buku hasil latihan Ziyad tetap aku simpan sebagai bukti (jika diperlukan) proses kami belajar.

Bersama komunitas homeschooling ini, kami sempat mengadakan pertemuan yang diisi oleh pihak PKBM T. Tapi waktu itu aku gak bisa hadir. Lupa tepatnya karena apa. Sepertinya karena aku sedang hamil kembar dan gak memungkinkan kalau naik motor berlima.

Info yang didapatkan dari pertemuan tersebut pun senada dengan yang aku dapatkan sebelumnya. Yaitu anak bisa didaftarkan setahun sebelum anak ujian. Maksimal bulan November tahun sebelumnya. Jadi, misal Ziyad mau ujian tahun 2019, maka maksimal bulan November 2018, dia sudah harus mendaftar ke PKBM. 

Qodarullah komunitas ini bubar, karena akhirnya dengan berbagai keadaan dari masing-masing keluarga, sebagian besar beralih ke pendidikan formal. 

Yang Terjadi Kemudian

Pada poin ini, insya Allah banyak pelajaran yang aku harapkan bisa diambil. 

Alhamdulillah masih ada percakapan tahun 2018 di whatsapp terkait ini. Jadi, masih bisa benar-benar sesuai runutan kejadiannya.

Bulan September 2018, Abang ke PKBM T. PKBM memberikan 1 lembar informasi yang berisi hal-hal yang harus dipersiapkan untuk mendaftarkan diri mengikuti ujian tahun 2019. Diantaranya foto 3×4, 4×6, dan lain-lain.

Bulan November, Abang mulai mencoba untuk alternatif PKBM yang lebih dekat atau SKB yang lebih dekat.

Ada berbagai hal yang insya Allah bisa jadi pelajaran di beberapa kejadian ini.

Pertama, ada PKBM yang sungguh sangat dekat. Bahkan bisa dicapai dengan jalan kaki. Tapi aku searching dulu tentang PKBM tersebut dan mendapatkan alamat websitenya. Ternyata PKBM tersebut basenya adalah dari Nasrani. Jadi, proses belajarnya dan hal-hal terkait di dalamnya lebih banyak dikaitkan dengan pendidikan agama kristen. Tentu saja kami coret dari pilihan.

Jadi, ketika mendatangi atau mencari tahu tentang PKBM, cari tahu “ruh” PKBM tersebut seperti apa.

Kedua, Abang pergi ke PKBM lain yang juga cukup dekat. PKBM ini memiliki program-program belajar yang bisa diikuti oleh anak yang menjalankan pendidikan mandiri (homeschooling). Ada yang privat atau berkelompok. Tapi, PKBM sejenis ini, biayanya sungguh mahal. Dan ada hal-hal lain yang akhirnya kami coret karena pada dasarnya nantinya sama saja dengan sekolah yang di dalamnya ada hal-hal yang tidak sesuai dengan visi misi keluarga. 

Ketiga, Abang pergi ke SKB. Dari sini, abang mendapatkan info yang sungguh mengejutkan kami. Ternyata, sebenarnya anak perlu didaftarkan di SKB atau PKBM dari kelas 4. Kalaupun mau diusahakan ikut ujian yang tahun depan sudah gak memungkinkan. Harusnya daftarnya dari awal semester kelas 6. Jadi, kalau mau ikut ujian, mesti nunggu daftar awal tahun ajaran 2019.

Intinya, kalau mau daftar di SKB, maka daftarkan sesuai jadwal tahun ajaran baru. Seperti sekolah pada umumnya. Gak bisa di tengah-tengah tahun ajaran.

Waktu Abang sampai di rumah dan menyampaikan info itu, rasanya campur aduk.

Bagaimama kisah selanjutnya…? Apa Ziyad mesti menunda setahun untuk ikut UN?

Apa kesimpulannya tentang PKBM?
Insya Allah dilanjutkan saat ada kesempatan lagi ya.

cizkah
Jogja, 17 Januari 2020

Dilengkapi lagi sedikit tanggal 14 Februari 2021.

Sambungan tulisan ini ada di Kisah Kami dan PKBM Bagian 2

One Reply to “Kisah Kami dan PKBM (Catatan PKBM Bagian 1)”

  1. […] Kisah sebelumnya bisa dibaca di “Kisah Kami dan PKBM (Catatan PKBM Bagian 1) […]

Leave a Reply to Kisah Kami dan PKBM (Bagian 2) – cizkah.com Cancel reply