Lusi, Iwan dan LGBT

Dakwah itu…pada dasarnya memang harus lembut. Karena dengan kelembutan, InsyaAllah akan lebih baik hasilnya. Pun menghiasi akhlak orang yang sedang berdakwah.

Dakwah kepada orang yang menderita LGBT pun begitu. Karena mereka juga ga semuanya bisa dipukul rata punya sifat yang sama. Tingkat keparahannya berbeda, penyebabnya berbeda dan seterusnya. Maka jika kemudian nasehat disampaikan kepada mereka tanpa nada emosional ataupun kebencian, InsyaAllah akan lebih baik lagi.

Kok aku bisa ngomong gini? Karena aku pernah hampir setahun kenal dengan orang sepertiĀ ini. Bertemu langsung. Bahkan – walaupun sedikit – berbicara dengan mereka. Ajaib ya.
Memang banyak yang belum aku ceritakan tentang hidupku. Salah satunya ya ini.

Waktu itu aku masih bekerja di warnet. Sudah pakai jilbab alhamdulillah. Tapi belum kenal sunnah seperti sekarang.

Warnet tempat aku bekerja cuma beberapa puluh langkah dari pasar Sumber Artha. Warnetku menempati blok keempat dari lima blok yang disewakan. Blok ketiga, dijadikan tempat usaha salon. Namanya, Salon Lusi.

Siapakah Lusi?

Sepertinya, dia adalah nama salah satu pendiri salon tersebut. Aku gak pernah tahu nama aslinya. Aku yakin Lusi bukan nama aslinya. Kecuali di dunia ini, ada orang tua yang kasih nama anak laki-lakinya Lusi.

Sosoknya dan dandanannya benar-benar mirip perempuan. Berambut lurus sebahu. Diwarnai pirang bercampur kecoklatan. Selalu memakai make-up di wajahnya. Pilihan warna gincu yang menghiasi bibirnya selalu berwarna merah. Sehari-hari ia suka mengenakan rok selutut. Gaya bicaranya tentu saja dibuat keperempuan-perempuanan.

Aku tak terlalu sering berinteraksi dengannya. Hanya sebatas interaksi antara seorang penjaga warnet dengan pengguna warnet. Namun terkadang aku ikut mendengar percakapan Lusi dengan pemilik warnet ataupun teman lainnya yang juga bekerja di salon.

Lusi memang lumayan sering ke warnet. Waktu itu, masih zamannya mIRC. Sebuah wadah untuk ngobrol dan kenalan dengan orang yang masuk di channel tertentu. Biasanya orang tinggal mengklik sebuah nama, maka jendela percakapan pribadi akan terbuka. Disana kemudian orang mulai bertanya, “asl pls?” Kalau ada yang tahu singkatan ini, berarti kita sezaman saat memasuki era internet di Indonesia :).

Pemilik warnetku yang bernama om S biasa datang sore hari untuk berganti jaga denganku. Suatu sore, Lusi yang sedang duduk di komputer yang terdekat dengan kursi kasir dimana aku sedang duduk, terlihat gelisah.

Bersambung insya Allah…

5 Mei 2016/27 Rajab 1437

One Reply to “Lusi, Iwan dan LGBT”

  1. Salon di sini juga ada mba yang pemiliknya melambai. Suami pernah coba potong rambut ke salon situ karena ga tau. Pas suami pulang, dianterin sampe pintu dan diliatin terus. Suami jadi ga mau ke salon situ lagi. Semoga Allah memberinya petunjuk. Ana nungguin lanjutan ceritanya hehe

Leave a Reply to Mutia Cancel reply