Memori sebagai Seorang Anak

Waktu kecil, aku sering merasa tidak bisa mengungkapkan keinginanku. Tidak bisa mengutarakan alasanku. Atau bahkan tidak bisa menyuarakan apa kata hatiku. Sampai akhirnya terbersit keinginan untuk mencatat apa yang ada di otakku. Alasannya, supaya nanti kalau aku punya anak, anakku tidak mengalami hal yang sama. Aku ingin aku mengerti anakku. Aku khawatir kalau aku lupa, bagaimana rasanya di posisi anak.

Sayangnya, ide itu gak aku wujudkan. Cuma beberapa kali muncul setiap kali ada rasa sesak di dada yang tak bisa diungkapkan saat Mama atau Papa memarahi atau melakukan sesuatu yang tidak sesuai kata hatiku.

Masa kecil, dewasa, orang tua, dan masa tua memang seperti ada wilayah di otak (atau hati?) yang  punya cita rasa sudut pandang tersendiri, memorinya sendiri dan pengambilan kebijakan sendiri. Yang ketika telah lewat masanya, seperti seakan tak bisa dikembalikan lagi. Sudah habis terkikis bersama umur yang bertambah.

Dari sisi aku sebagai seorang ibu, sedikit kenangan yang tersisa waktu kecil, aku gak ingat mama bicara apa saat sedang marah atau papa sedang bicara apa ketika pikiranku berkecamuk kemudian terbersit ingin menulis perasaanku sebagai seorang anak. Yang masih kuingat cuma momen perasaan yang muncul aja. Mungkin karena memang sebenarnya aku yang salah. Mungkin sebenarnya pada kenyataannya aku adalah seorang anak kecil yang belum tahu mana benar mana salah.

Dan kini, “tahu-tahu” aku sudah ada di posisi orang tua. Rasanya — atau lebih tepat pastinya–, terkadang — atau lebih tepatnya lagi…sering kali –, aku lupa posisi seorang anak.

Dan akhirnya buku-buku parenting (Islam dan umum) itulah yang membantu aku – dengan izin Allah – untuk – berusaha – selalu berempati kepada apa yang anak-anak rasakan.

Begtiu pula beberapa kenangan masa kecil yang masih tersisa.

Takut

Aku ingat aku pernah takut dengan kecoa. Kecoa yang banyaaak sekali. Bukan cuma karena dia berkeliaran di kamar tidurku. Tapi karena mereka terbang kemana-mana. Bisa kebayang gak. Kita yang sudah besar aja bakal geli kalau ada satu kecoa yang terbang. Ini ada banyak! (atau mungkin bagiku, 3 itu sudah cukup banyak sekali).

Waktu itu aku sepertinya berteriak ketakutan. Menangis. Dan Papa marah. Marah kepada aku yang menangis ketakutan. “Cuma kecoa aja. Bukan harimau.”

Ah yes. Sounds familiar ya. Banyak juga mungkin orang tua yang masih nerapin “analogi” ini kepada anaknya.

Waktu itu akhirnya Mama menggendong aku pindah ke kamar Mama.  Aku cuma ingat gak berani buka mata. Tetap sambil menangis. Dan sampai di kasur Mama, aku cuma berani membuka mata sedikit melihat lipatan-lipatan sprei kasur Mama sambil tetap menangis terisak sampai akhirnya tertidur.

Panas

Aku ingat. Waktu sakit panas tinggi. Entah umur berapa. Papa menggendong aku yang ingin pipis. Diletakkannya gilasan kayu di kamar mandi. Kemudian aku dijongkokkan disitu. Waktu itu aku merasa hal itu berharga sekali. Karena sedang demam tinggi, kena air sedikit rasanya gak enak banget. Aku selalu ingat momen ini karena bagiku momen ini adalah momen berharga bersama Papa. Yang membuat aku juga ingat bahwa beliau adalah juga orang tua. Yang penuh kasih sayang terhadap anak-anaknya.

Dan momen sakit ini membuatku sadar bahwa keadaan sakit, memang menuntut anak biasanya jadi lebih manja. Lebih butuh perhatian. Lebih butuh untuk diperlakukan beda. Dan rasanya nyaman sekali ketika perlakuan itu diterima ketika sakit. Ini sebenarnya juga berlaku ke orang dewasa.

Masih ada sebenarnya yang pingin aku tulis tentang empati berdasar memori ketika kecil. Tapi kalo diterusin..mungkin bisa jadi buku hehe. Karena waktu akhir pekan itu begitu berharga. Gak bisa aku pakai seluruhnya untuk menulis. Maka yang sedikit ini semoga bisa bermanfaat buat orang tua manapun.

Bahwa anak…butuh empati kita.

Bahwa mereka juga punya perasaan. Sama seperti kita. Yang perasaan itu bahkan lebih halus dan bisa mempengaruhi berbagai sikap mereka ketika dewasa nanti.

 

One Reply to “Memori sebagai Seorang Anak”

  1. sama.. bahkan sampai besar kadang2 hehe
    kadang perasaan2 itu terakumulasi menjadi perasaan kecewa. tapi yang agak mengejutkan, kadang sikap yang membuat kecewa itu muncul pada diri sendiri dalam mengasuh anak.
    lalu tercenung. istighfar. berdoa semoga Alloh memperbaiki saya.

Leave a Reply