Galau SD

Mungkin ada beberapa yang pernah melihat aku  menulis #galauSD di beberapa tempat. Hehe…ini ceritanya berarti lanjutan cerita tentang homeschoolingnya Ziyad bagian 4 ya :D.

Ziyad udah 6 tahun..udah bisa baca latin, bisa al-quran, bisa hitung-hitungan sederhana. Terus? Ko gak masuk SD aja sih? Pas banget dia bulan Juli kemarin 6 tahun. Kalo berdasar kalender hijriah sih udah sebelum itu malahan 6 tahunnya hehe.  Samar-samar, rasanya pingin masukin dia ke SD. Sayang-sayang dia udah bisa ini itu terus masih setahun lagi. Tapiii…tapinya itu banyaak banget…

Misalnya, gimana nanti kalo udah masuk SD, terus udah dibebani dengan PR, LKS, ini itu ini itu ini itu. Ah..rasanya setahun ini lebih baik menambah hafalannya sambil mematangkan dia dalam  berkonsentrasi ketika melakukan sesuatu. Itu..kalo dia masuk SD nantinya in sya Allah.

Dan tahu gak, yang paling sangat-sangat ragu memasukkan Ziyad ke SD siapa? Si abangku tersayang suami tercinta…Haha. Rasanya amazing aja. Dulu pas mutusin untuk ber-homeschooling ria, aku yang ngelobi dan bujukin abang. Meyakinkan abang untuk ngeluarin dari daycarenya karena juga pertimbangan ketidaksregan di ini itunya. Sekarang…bisa dibilang abang yang bujukin aku..meyakinkan aku untuk melanjutkan homeschooling aja 6 tahun ke depan in sya Allah.

Seperti aku ceritakan di postingan-postingan sebelumnya, kekecewaan kami dan kesadaran akan positifnya homeschooling sangat dirasakan abang saat kejadian mengeluarkan Ziyad dari TK (yang hanya dilaluinya selama sekitar 6 bulan).  Pergaulan di SD nanti juga menjadi faktor lain yang menjadi pertimbangan abang untuk menghomeschoolingkan Ziyad. “Abang inget ayat Quu anfusakum wa ahlikum naaro…” kata abang. “Kayanya..resikonya lebih besar lagi di sekolah daripada manafaat yang didapat.”

Di dunia kerja…abang juga banyak mengambil pelajaran. Abang bercerita, seringkali orang (melihat orang di sekitar abang nih) ga tau arah hidupnya, minatnya mo kemana. Akhirnya coba-coba. Coba ini, coba itu. Habis waktunya…Kemampuannya jadi gak fokus, gak berkembang, gak mendalam. Padahal kalau dari anak-anak bisa diarahin. Ditunjukkan mana yang baik. In sya Allah hasilnya lebih baik dan tak menghabiskan banyak waktu. Bisa fokus, bisa lebih ahli..dstnya in sya Allah.

Abang melihat juga dari guru tahsinnya, ustadz Abdurrahim. Tahu gak usianya berapa? 17 tahun. Secara gak langsung aku pernah nulis tentang beliau dan keluarganya di ummiummi. Ayahnya penghafal quran. Dia juga dididik untuk menghafal quran dan cinta Al-Quran. Lulus SD dia memilih gak meneruskan lagi. Serius dengan Al-Quran. Sekarang sudah belajar qiroat dengan syaikh Abdul Karim.Udah dapet sanad. Oh jangan salah..bukannya putus sekolah. Ternyata dia tetap ikut kejar Paket C. Tahun ini ikut tes untuk masuk Jami’ah Madinah. Sudah dipercaya megang di bagian tahfidz di Bin Baz.

“Lucu..”, kata abang.

Abang menceritakan kejadian saat beliau belajar tahsin. Ada santri tahfidz lain yang usianya sepertinya lebih tua konsultasi ke ustadz Abdurrahim. Masalah pergaulannya. Ingin pindah ke pondok lain, karena gak bisa fokus hafalan di sini, karena pergaulannya dengan teman yang mungkin kurang bisa mengajak kebaikan. Kemudian ustadz Abdurrahim memberi saran-saran. Masalahnya bukan di pondoknya dst. Ini salah satu sebab yang sepertinya menguatkan abang untuk meneruskan homeschooling Ziyad.

Sebelum banyak menyebar video-video youtube dari channel syaikh Kunduri (karena beliau datang ke Indonesia), abang sudah mendownload hampir semua video dari channel beliau. Kami tonton bersama lewat tablet. Lebih sering abang yang menontonnya. Berulang-ulang. Aku baru menonton beberapa…itupun bikin hati hangat dan mata meleleh. Dari situ abang juga belajar “sesuatu”. Sulit dijelaskan dengan deskripsi panjang.

Abang juga bilang, kalau kita sudah sama-sama merasakan. Bahwa 6 tahun di SD itu rasanya banyak waktu yang harus dikorbankan, tapi sedikit yang didapatkan. Bukan berarti maksudnya kalo homeschooling nanti terus Ziyad digenjot belajar cepet dengan pelajaran seabrek hehe. Maksudnya, dengan homeschooling ada berbagai hal yang kami bisa pelajari dengan fokus tanpa ada kejar-kejaran sebagaimana di sekolah formal. Dan waktu yang dihabiskan tidak sebanyak di sekolah. Jadi waktu lainnya bisa digunakan untuk memperdalam kemampuan lainnya. Kalau ini juga karena sudah merasakan bedanya banget sih antara belajar di TK dan di rumah. Seperti aku ceritakan di postingan kemarin.

Kalau sekedar coba-coba…kayanya gak bisa seperti kemarin di usia TK. Itu pun sudah banyak waktu dan harta (bagi kami) yang mesti dikeluarkan. Apalagi SD, dengan biaya yang lebih besar, dengan peraturan-peraturan yang lebih banyak.

Terus yang bikin galau apa?

Galau karena in sya Allah pada prakteknya, aku yang akan banyak terlibat dalam proses belajar itu. Padahal ada Thoriq yang juga mungkin sudah perlu perhatian untuk hafalannya, ada adiknya lagi in sya Allah yang butuh diurus, ada pekerjaan desain yang sampai saat ini belum bisa aku tinggalkan.

Galau, karena Ziyad laki-laki. Hehe. Apa hubungannya? Ya..kalau ini rasanya kadar keimananku yang belum tinggi. Karena pola pikirku yang masih harus diperbaiki, diperluas biar gak sempit. Disadarkan dengan kenyataan di kehidupanku sendiri. Dunia kerja gak melulu berkaitan ijazah. Bahkan lebih kepada keterampilan..

Galau karena rasanya tidak ingin ada ribut-ribut edisi lainnya di keluarga hehe. Rasanya homeschooling menjadi sebab keberapa kami menjadi orang paling aneh di keluarga. Sungguh yang paling sangat belum siapnya di sini.

Galau karena khawatir Ziyad sedih atau tertekan karena mungkin ada keinginan dia untuk sekolah atau juga tertekan karena pertanyaan-pertanyaan dari orang sekitar. “Sekolah dimana?” “Kamu kapan sih sekolahnya?” “Mbo Ziyad di sekolahin toh mas mas…” kata salah seorang teman suami. Suami hanya tertawa waktu dibilangi seperti itu.  Berkaitan dengan kekhawatiran takut Ziyad sedih kalau-kalau ternyata dia pingin sekolah, kata abang..kalau dari sisi Ziyadnya, dia belum paham mana yang baik untuk dirinya. In sya Allah nanti bisa diarahkan dan dia sendiri yang akan merasakan. Tapi dari kemarin aku tanya dia, mau gak belajarnya sama ummi terus, dia bilang, “Ga pAaaA pah..” jawab santai sambil nerusin main.

Galau karena sosialisasi?  Kalo ini engga in sya Allah. Bisa ditanya orang-orang sekitar rumah bagaimana dengan Ziyad dan Thoriq :D. Karena masalah sosialisasi ini memang ada waktunya in sya Allah. Seperti di tulisan di ummi2 yang aku kutip itu. Kadang heran juga kalau dengar anak umur 2,5 th dimasukin ke PAUD alasannya biar sosialisasi. Masih inget juga pandangan orang-orang pas aku nyariin TK buat Ziyad dulu. Pas aku bilang kemarin-kemarin homeschooling, mesti sedikit ada nada..yang sulit dideskripsikan dari orang yang menemuiki…mengatakan, “Iya…(sambil ketawa), Gimanapun butuh sosialisasi..(sambil tertawa kecil).” Inget juga bagaimana Ziyad dianggap “bermasalah” karena latarbelakang homeschoolingnya ini. Ih..sedih deh kalo diinget-inget.

Ah…jadi inget ketika mengikuti salah satu wisata edukatif, antara guru dan orang tua sama sekali tidak ada percakapan atau hal-hal yang menunjukkan adanya interaksi sosial :(. Mungkin kami para orang yang sudah tua ini perlu belajar sosialisasi ya…(entah dimana..yang jelas bukan di sekolah).

Terus keputusannya gimana?

Kami masih mengumpulkan informasi dan menguatkan mental (terutama akunya). Sambil itu..rasanya memang lebih prefer ke homeschooling hehe. Aku udah mikir-mikir, in sya Allah kalau emang HS,  usia berapa yah nanti tepatnya Ziyad bisa diikutin Ma’had Ali. Dua tahun in sya Allah sudah bisa ada dasar untuk baca kitab dan muhadatsah. Kalo bisa bareng lah sama aku hehe *kapaaan ya bisa. Aku sama abang ngerasa Ziyad juga punya kemampuan lebih dimasalah bahasa in sya Allah.

Sampai saat ini aku menghindari mengajari Ziyad bahasa secara lazimnya dulu kita belajar bahasa inggris atau bahasa asing lainnya. Selain bukan teknik belajar yang baik…emang gak bikin orang jadi paham dan bisa secara praktek hehe.Karena belajar bahasa yang paling baik itu sebenarnya sebagaimana kita belajar bahasa ketika kecil. Dari mendengar percakapan, dari diajak bercakap-cakap langsung, trial error, dibenerin dst. Makanya aku juga main OPOL2an beberapa bulan kemarin. (One Parent One Language = OPOL).  Ceritanya di tempat lain in sya Allah.

Abang juga ngebayangin nantinya mungkin -insya Allah- bisa ngajarin Ziyad teknik fotografi atau video editing. Atau mungkin someday -insya Allah- aku yang bisa mengajari dia gambar secara digital…secara dia minatnya emang di gambar. Ya..itu yang berkaitan dengan skill yah hehe. Skill yang diarahkan.

Bagaimana prakteknya nanti in sya Allah? Wallahu a’lam. Semoga kami semua diberikan umur panjang dalam ketaatan dan diperbagus amalan kami. Aamiin.

2 Replies to “Galau SD”

  1. Saya juga mengalami kegalauan yg sama. cuma mungkin kalo Alifa tepatnya Galau TK yah. kadang anaknya minta sekolah, walaupun saya pribadi dan suami lebih suka homeschooling. Makanya sampai buat Kids Club juga di rumah. Supaya ada temannya, dan lebih terpegang juga anaknya…Sekolah jaman sekarang…duh…banyak prihatinnya.

    Hayuk lah kita buat komunitas HS, mba.

    1. in sya Allah nanti lanjut di wa :D. Di jamil udah ada yg mo bikin..tapi bukan komunitas cha..

Leave a Reply