Kisah Hidup di Desa

Sebenarnya sudah lama mau nulis tentang ini.  Tapi karena pingin nampilin foto, malah gak jadi-jadi nulisnya. Terus jadi termotivasi lagi deh, mbaca tulisannya ini.  Kebetulan aku juga bisa dikatakan tinggal di desa, tepatnya desa Sawo Wirokerten, Bantul. Sekalian review karena keputusan terakhir tadi siang sih, kita tetap di rumah sekarang tapi minta lantainya di’benerin’. Mudah-mudahan bisa deh ya, soalnya lantai rumah yang sekarang kan belum di-aci, apalagi dikeramik. 😛 Waktu awal-awal kontrak sih masih rapi-rapi aja dilapisi karpet plastik dan ruang depan dikasih evamat banyak-banyak. Tapi sekarang karpetnya dah sekarat, jadi bikin aku males ngepel rumah :P.

Anyway…
Kalo theme creator yang satu ini bilang hidup di desa tapi masih bisa bekerja ala kota, sebenarnya ada benarnya juga. Tapi kehidupan desa tetap kehidupan desa. Kehidupan kota yang dimaksud mungkin sekedar bekerja di balik komputer dengan koneksi internet  seperti layaknya di kota. Tapi aku yang dari kecil tinggal di Jakarta, terkadang membutuhkan “suasana kota” yang bukan sekedar di balik komputer (nanti di bawah deh insya Allah cerita tentang ini).

Ceritanya, kemarin kita puter-puter seharian di ‘kota’ menyelesaikan urusan berkaitan dengan satu amanah lagi yang diberikan kepada bang Hen (alhamdulillah). Waktu shalat ashar, kita mampir di masjid Pogung Raya. Lalu lalang mobil, motor dan lainnya sepanjang perjalanan dan di sekitar itu terasa. (Untuk daerah Jogja, daerah Kaliurang dan sekitarnya sudah bisa dikatakan ‘kota’). Kemudian terjadi gurauan antara aku dan bang Hen (yang alhamdulillah kalau canda gurau antara suami istri tuh bukan hal yang sia-sia di dunia ini ya. :)).

Bang Hen bilang, “Wah…gak kebayang deh kalau tinggal di sini.” (Maksudnya dengan keberadaan Ziyad di sisi kami. Karena waktu awal nikah, kita 9 bulan tinggal di kawasan pogung ini).

“Motor, mobil, temenannya…wahh…”

Bang Hen masih melanjutkan, “Gak ketemu lagi sama bapak-bapak yang biasa bawa rumput-rumput.”

Hihihi…aku mulai kepancing deh nyebutin hal-hal lain yang secara rutin selama hampir 11 bulan ini lewat di depan rumah kami. Kejadian yang hampir selalu sama setiap harinya dengan rutinitas yang sama namun tidak sama dengan kehidupan kota yang dibarengi ambisi kenaikan jabatan atau lainnya.

Rutinitas di sini dimulai dari  pak gembala kambing yang umurnya kira-kira sudah 70 tahunan…Beliau termasuk yang cukup punya banyak kambing. Bahkan pernah kejadian di depan rumah kami, kambing miliknya dikawinkan dengan kambing milik salah seorang penduduk desa lainnya. Hihi…aku sama bang Hen yang melihat dari balik kaca cuma ketawa aja. Aku juga jadi tahu cara memanggil atau bercakap-cakap dengan kambing. (Kalau kucing kan kita udah tau, “Meong..meong…”) Kalau kambing, wah susah kalau dituliskan. Ada tekanan suara tersendiri di tenggorokan.

Kemudian pak RT yang juga mondar mandir membawa kambingnya satu ekor  yang sedang hamil (sekarang sudah lahir dua ekor anak kambing lho). Ibu-ibu yang mengambil daun pisang. Bapak berambut panjang yang hampir tidak pernah kita melihatnya tersenyum, ibu yang hampir selalu memakai topi dengan anak laki-lakinya yang juga hampir selalu memakai topi yang hampir selalu berjalan sambil membawa gerobak atau semacamnya, ibu dengan anak perempuannya yang menenteng ceret dan gelas. Aktifitas membajak yang terkadang memakai sapi namun di kali lain menggunakan mesin bajak. Bapak pemilik sapi pembajak yang masya Allah kuat sekali memanggul besi bajak yang kata bang Hen, “Itu BERAT BANGET lho dek.” Seorang ibu yang memanggul tangga panjang dari bambu dengan satu tangannya (padahal aku atau bang Hen kalau sedang memindahkan tangga yang ada di rumah kami susah payah minta ampun).

Begitulah…kehidupannya selalu dan selalu seperti itu. Nah…ternyata kehidupan masa kecil sampai umur 21 tahun di kota Jakarta sedikit mempengaruhiku (walau tidak seperti orang kota kebanyakan). Biasanya bang Hen mengajak ke daerah kota untuk jalan-jalan. Tapi tidak ke mall. Pernah juga kalau aku lagi kangen sama rumah (berhubung 3 tahun belum pulang), yang kepikiran untuk ngilangin kangennya ke mall, tapi bang Hen gak suka sama mall. Lagipula, pernah waktu keadaan aku kangen berat terus kita ke salah satu mall. Haduh…kasihan bang Hen, kasihan aku, kasihan Ziyad. Bang Hen super gak nyaman karena wanita mengumbar aurat di mana-mana. Buang muka ke sini lihat paha, buang muka ke sana lihat paha lagi :P. Kalau aku? Karena aku seakan-akan jadi wanita aneh di situ (dengan jilbabku yang super besar dan gamisku yang juga besar dan berwarna kegelapan), orang-orang melihatku dengan pandangan aneh. Sedangkan untuk Ziyad (dan untuk kami juga), yang gak tahan musiknya yang berdentum-dentum memasuki celah pikiran kami dan sangat tidak kami harapkan akan mendengarnya.

Akhirnya, aku mulai terbiasa mencari hiburan yang lebih aman untuk diniyah kami. Jajan bakso, makan di luar (wisata kuliner sederhana),  dll. Karena lama-kelamaan agak sadar juga, mungkin bukan suasana kota yang aku rindukan, tapi kejenuhan dalam rutinitas yang sama (masak, mencuci, dll) ditambah dengan kesunyian desa (karena di depan rumah kami benar-benar sawah membentang), plus aku gak bisa ngomong jawa!  Jadi kan tambah sepiy deh. Tentang Jawa dan latar belakangku, wah…panjang lagi deh ceritanya. Insya Allah kapan-kapan.

4 Replies to “Kisah Hidup di Desa”

  1. Hidup itu Indah ketika kita tau dan bisa melambatkan diri untuk sebuah kenikmatan yang sejuk 😉

    1. Kalau saya merasa hidup jadi lebih indah karena tahu mengapa saya melakukan ini dan mengapa dilarang melakukan itu. Dan kalau ada ketidakpuasan sebenarnya cuma karena hawa nafsu yang ada pada diri manusia. Jadinya berusaha ngatasi hawa nafsunya itu. 🙂

  2. ana juga tinggal di desa lho ukh. aktivitas kaya gitu juga jadi pemndngan yang sering terlihat di desa ana. Maklum, bapak ibu ana kan juga petani. Jadi hampir tiap hari tugasnya urusan sawah. hehe

    1. Hehehe…sebenarnya aktivitas di kota pun pada intinya sama, yaitu rutinitas harian pekerjaan kantoran atau yang sejenisnya. Tapi bedanya, ada banyak hingar bingar serta kerlap-kerlip lampu malam hari atau akfitias dari para ‘pekerja’ yang melakukan refresh dari rutinitas tersebut. Nah, ana masih sedikit terheran-heran kalau di desa ini, sepertinya tidak ada acara rekreasi atau semacamnya. Mungkin televisi jadi hiburan yang utama ya?

Leave a Reply