Kisah Pembeli Bakso dan Penjual Bakso

Ini adalah dua kisah yang berbeda. Terjadi di tempat yang berbeda. Waktu yang berbeda. Satu yang sama, kedua kisah ini memberikan pelajaran yang sangat berarti bagi saya.

Pembeli Bakso

Sebut saja, namanya mba Ida (bukan nama sebenarnya). Saat masih sering bertemu dengannya, ia telah memiliki enam orang anak. Ia tinggal di rumah kontrakan yang terbuat dari kayu yang juga sangat tepat jika dikatakan gubuk. Bukan karena ingin kelihatan sederhana. Namun kenyataannya memang seperti itu. Rumahnya terbagi menjadi dua ruangan. Keduanya dijadikan ruangan tidur. Satu ruangan yang bersambung dengan pintu masuk bagian depan juga multifungsi sebagai tempat menerima tamu. Tak ada karpet permadani. Ataupun sofa empuk dan bangku berukir mahal. Yang ada adalah tikar dan bantal-bantal kapuk yang telah menyusut ukurannya tergeletak  di pinggir ruangan.

Terkadang, mba Ida mampir ke rumahku. Sekali ini, ia mampir sambil membawa satu bungkusan bakso. Bukan bakso daging urat dengan kuah berkaldu yang kental. Hanya sebungkus bakso seharga Rp 2.500. Bakso yang sarat campuran terigunya dengan kuah yang sedikit bening nampun tetap ada aroma kaldunya.  Ia meminjam mangkuk milikku. Bukan. Bakso itu bukan untukku. Ia sangat ingin menikmati bakso itu seorang diri.

“Sekali-sekali “,katanya.

Jika dimakan di rumah, maka ia harus berbagi dengan anak-anaknya. Atau juga dengan suaminya. Bakso seharga 2.500 yang sangat berharga.

Maka…nikmat mana lagi yang aku dustakan? Kecukupan apa lagi yang aku cari? Saat kejadian itu terjadi, aku rekam kuat-kuat, agar selalu kuingat manakala rasa “kurang” melanda.

Penjual Bakso

Sekitar tahun 2004, bapak penjual bakso ini sering lewat di depan kos-kosan yang aku tinggali. Biasanya, aku tak sembarangan membeli bakso. Khawatir dengan campuran yang ada pada bakso itu sendiri. Namun bapak yang satu ini insya Allah aku percaya. Penampilannya yang memakai celana di atas mata kaki. Jenggot yang tumbuh beberapa di sela-sela dagunya. Beberapa kali juga aku ketahui ia sholat di masjid yang ada di komplek perumahan yang aku tinggali tersebut.

Satu kali di tahun 2013, saat aku sudah menikah dan sudah memiliki 2 anak, maghrib berkumandang saat kami keluar dari  suatu mall karena suatu keperluan. Mall itu berseberangan dengan komplek perumahan dimana aku dulu ngekos. Karena tahu ada masjid terdekat, kami sekeluarga menuju masjid tersebut.

Biasanya aku bergantian sholat dengan suami karena harus menjaga anak-anak. Ada gerobak masjid di sisi selatan masjid tersebut. Aku hanya berpikir sekilas, teringat kebiasaanku membeli bakso di daerah tersebut.

Saat jama’ah sholat dari laki-laki selesai dan mulai berhamburan keluar, dengan rasa penasaran aku melihat gerobak bakso itu. Entah kenapa aku berpikir, apakah mungkin penjualnya adalah penjual uyang sama dengan saat aku masih belum menikah dulu? Saat melihat sang bapak menuju gerobak baksonya…maka tahulah aku.

Ini adalah penjual bakso yang sama.

Sama seperti 9 tahun yang lalu.

Masih berjualan bakso. Masih berkeliling

Mungkin aku harus melihat dari sisi, betapa si bapak tidak ada kemajuan. Tidak ada inovasi. Atau usahanya tidak berkembang. Tapi aku tak ingin melihat dari sisi itu. Aku ingin melihat dari sisi lainnya.

Maka akupun merenung. Betapa kebutuhan hidup semakin meiningkat. Betapa setiap orang – termasuk diriku – sangat ingin memperbaiki taraf hidup dari hari kehari. Mulai dari kebutuhan anak-anak, rumah, kendaraan dan kebutuhan dunia lainnya yang tak ada habisnya.

Tapi bapak penjual bakso ini masih dengan kondisi yang sama.

Maka apakah ketika kita menghadapi situasi yang sama  kemudian kita akan mengeluh dan berputus asa?
Aku berdoa semoga tidak. Semoga sang bapak penjual bakso pun tidak. Semoga anak istri keluarganya tidak. Semoga Allah memberikan rasa kecukupan dari apa yang Allah telah berikan  dan memberkahi apa yang kita miliki.

Satu catatan lagi yang sangat berharga adalah, sang penjual bakso tetap sholat berjama’ah di masjid.

“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rizki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.? Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.? (Q.S. Ath-Thalaq: 2-3).

Penulis: cizkah ummu ziyad

One Reply to “Kisah Pembeli Bakso dan Penjual Bakso”

  1. […] Pas lagi galau…masalah kehidupan. Ketika ada pikiran ternyata sebenarnya kami tuh gak jauh-jauh beda dengan si penjual bakso ;D. (Baca Kisah Pembeli dan Penjual Bakso). […]

Leave a Reply