Meluruskan Kesalahpahaman tentang Homeschooling

Homeschooling tidak sama dengan mengejar kesempurnaan.
Homeschooling tidak sama dengan anak steril
Homeschooling bukan aktifitas antisosial atau meredam kemampuan bersosialisasi
Homeschooling juga bukan suatu aktifitas yang harus dibenturkan dengan sekolah

Homeschooling = Sempurna dan Steril?

Homeschooling bukan bertujuan membentuk anak sempurna dan tidak pernah salah. Bukan juga berarti anak akan steril dan benar-benar polos gak tahu apa-apa tentang dunia luar dan kenyataannya.

Homeschooling bukan proses sterilisasi anak supaya bersih dari hal-hal seperti mengenal sosok superhero atau semacam itu. Walaupun memang kita berusaha menjaga anak agar tidak terpapar hal-hal tersebut.

Maksudnya…kita bukan sedang mengisolasi anak dari dunia luar. Apalagi di era digital sekarang.

Seberapapun kita berusaha, tetap ada faktor-faktor lain yang kita gak duga yang kemudian anak bisa terkena dampak negatifnya.

Disitulah kita butuh yang namanya doa. Kita tidak menggantungkan kebaikan anak kita pada usaha kita semata. Baik dengan homeschooling ataupun sekolah.

Setelah berdoa, ternyata anak tetap melakukan kesalahan. Bahkan kesalahannya membuat kita lemas gak nyangka anak kita melakukan itu. Percaya deh. Saya pernah melaluinya, namun tidak pernah menceritakannya di sini. Karena itu berkaitan aib anak yang juga tetap harus kita jaga.

Terus kalau gitu gimana dong? Berarti gak usah homeschooling aja kalau gitu?

Saya tidak ingin mengeneralisir apa yang kami alami sebagai jawaban pasti dari pertanyaan di atas. Yang saya sampaikan setelah ini adalah apa yang saya alami bersama anak-anak ya.

Yang kami rasakan selama ini, alhamdulillah…karena tiap hari intensif menjalani kegiatan bersama, ketika ada hal-hal yang berbeda dan terasa janggal, kami bisa mengetahuinya lebih cepat. Biasanya setelah diajak bicara, akan diketahui apa yang menjadi masalah.

Ketika ada hal-hal yang kurang berkenan, kami juga punya kesempatan lebih banyak untuk memberi nasehat kepada anak.

Karena waktu untuk bermain tidak lebih banyak (baca: dibatasi) dari waktu yang digunakan untuk menjalankan aktifitas yang lebih bermanfaat, maka pengaruh-pengaruh negatif memang punya kesempatan lebih sedikit untuk masuk ke anak.

Kami lebih mudah mengelola dan mengarahkan anak untuk melakukan hal-hal yang lebih fokus dan bermanfaat.

Kami juga lebih mudah membentuk karakter yang kami panjatkan dalam doa-doa.

Hasilnya memang tidak sempurna, tapi kami merasa lebih mudah mendidik karena anak tidak mendapatkan banyak pengaruh dari lingkungan.

Hal ini tentu saja membutuhkan rahmat dari Allah kemudian karena anak “intensif” berada di rumah dibandingkan di luar rumah. Oleh karena itu, kegiatan homeschooling yang dilakukan utamanya diniatkan dalam rangka ketakwaan dan menambah ketakwaan.

Rival Sekolah?

Melakukan homeschooling bukan berarti sedang berkompetisi dengan sekolah formal.

Hasil dari masing-masing keluarga bisa berbeda apapun pilihannya. Balik-baliknya lagi sebenarnya ke visi misi pendidikan si anak. Atau kalau dalam bahasa sederhananya lagi adalah niat orang tua tuh gimana.

Masing-masing pihak tidak perlu saling merendahkan pilihan masing-masing. Iya, ini memang berkaitan dengan pilihan. Pilihan dari masing-masing orang tua bagaimana mewujudkan pendidikan pada buah hatinya.

Untuk kami, karena kami telah menimbang dan merasakan bahwa untuk mewujudkan visi misi yang kami harapkan belum bisa dilakukan jika anak-anak sekolah, maka disitulah kemudian kami memutuskan untuk homeschooling.

Satu catatan penting, karena ini berkaitan dengan pilihan, maka usahakan untuk sholat istikhoroh ketika akan memutuskan homeschooling atau sekolah.

Prosesnya akan jadi lebih terasa ringan karena kita yakin apapun hasilnya sudah kita serahkan kepada Allah untuk kemudian dimudahkan untuk kebaikan dunia dan akhirat kita dan anak keturunan kita.

Homeschooling = Tidak Mampu Bersosialisasi?

Homeschooling bukan sebuah aktifitas antisosial atau bahkan meredam kemampuan bersosialisasi. Karena kemampuan ini ga berkaitan sama lembaga. Ini berkaitan sama life skill yang butuh dibimbing dan dilatih.

Dengan pertanyaan-pertanyaan berikut, saya ingin mengajak orang tua untuk kembali merenungkan lagi dengan makna yang lebih dalam dari kemampuan bersosialisasi ini.

  • Apakah jika seseorang berantara di antara orang banyak dalam waktu lama berarti orang tersebut akan jadi orang yang pandai bersosialisasi?
  • Apakah ketika orang mudah bersosialisasi (bergaul) kemudian itu baik untuknya?
  • Apakah kemampuan bersosialisasi itu sebatas teman sepantaran?
  • Apakah anak kita mampu berkomunikasi dengan baik dengan orang di sekitarnya baik anak yang lebih kecil atau dengan orang dewasa?
  • Apakah anak kita ketika berhadapan dengan seseorang sudah bisa menjalankan akhlak yang sesuai syariat?
  • Apakah kita (sebagai orang tua) sudah memperhatikan bagaimana agar anak kita dapat bersosialisasi dengan akhlak karimah?
  • Apakah anak kita terlalu banyak bergaul?
  • Apakah yang kita harapkan sesungguhnya dari anak-anak yang mampu bersosialiasi?
  • Apakah maksud bisa bersosialisasi itu pasti punya banyak teman?
  • Apakah punya banyak teman itu berarti kebaikan?

Orang-orang yang mengenal keluarga kami dan anak-anak biasanya tidak menanyakan masalah sosialisasi ini. Hal ini karena mereka sudah dapat melihat bagaimana anak kami bersosialisasi sehari-hari.

Contoh sederhana: Ziyad anak tertua kami, tahun 2018 saat usianya 11 tahun, menjadi pengajar TPA. Ini bukan kami yang menyuruhnya. Pemuda asli penduduk kampung ini yang meminta Ziyad ikut mengajar.

Akhir-akhir ini, proses mengajar ini terhenti karena waktu TPA diganti malam hari. Ketika kemudian aktif lagi sore hari sekitar dua bulan terakhir, Ziyad kurang tertarik mengajar lagi. Ketika saya tanya kenapa? Jawabannya karena santrinya lebih banyak yang anak perempuan. Jawaban ini adalah jawaban dari anak yang sedang menuju masa baligh :).

Membatasi Anak?

Homeschooling tidak harus berkaitan dengan karakter tertentu anak. Misalnya anaknya ekstrovert maka disekolahkan. Kalau begitu nanti bisa dibalik dong. Yang introvert homeschooling saja.

Homeschooling insya Allah tidak menghambat kelebihan yang dimiliki anak. Bahkan malah bisa mengasah lebih dalam lagi. Dari contoh diatas, misalnya anak akan lebih luas lagi praktek bergaul dengan masyarakat karena sifat luwesnya (ekstrovert) itu.

Demikian untuk #serihomeschooling kedua ini. Tulisan selanjutnya insya Allah berkaitan dengan salah paham yang lainnya, yaitu praktek kegiatan belajar homeschooler. Semoga Allah mudahkan.

cizkah
Jumat, 1 Maret 2019/24 Jumadats Tsani 1440

One Reply to “Meluruskan Kesalahpahaman tentang Homeschooling”

  1. […] memutuskan anak akan dimasukkan ke sekolah apalagi di usia dini. Selami juga benar-benar tujuan sosialisasi sebenarnya itu apa dan […]

Leave a Reply