Jangan Mudah Tersilaukan

Anak-anak biasa bermain di sore hari. Kesempatan itu biasanya aku gunakan untuk melakukan pekerjaan di depan laptop. Suatu hari, Kholid pulang dan langsung masuk ke ruang kerjaku.

“Mi, biru tua campur biru emangnya merah?”

Aku heran dengan pertanyaannya. Mereka sudah sangat sering bermain dengan warna dan hafal campuran-campuran warna yang dihasilkan. Aku bilang, “Ya tetap biru.” Kholid tuh kaya masih ragu-ragu aku jawab seperti itu. Tambah lagi dia nanya,

Tambah lagi dia bertanya, “Kalau ungu campur merah nanti jadi hijau?”

Lho, kok makin aneh. Aku lupa bagaimana responku selanjutnya. Tapi akhirnya ketahuanlah bahwa ada anak kampung sini yang usianya lebih tua dari mereka yang mengatakan hal itu, merespons Kholid yang memberitahu bahwa, “Biru sama merah nanti jadi ungu.”

Perjalanan mereka mulai belajar bergaul dengan anak-anak di lingkungan kampung sini cukup intensif sekitar bulan Juli. Aku sudah mulai memberi batasan ketika melihat perkembangan proses pergaulan ini menunjukkan tanda-tanda SANGAT tidak bagus, bahkan sejak bulan Agustus.

Responku yang muncul dari kejadian di atas lebih karena aku sudah punya gambaran karakter anak, gaya pergaulannya, dan hal-hal yang berkaitan dengan itu.

Aku langsung menasehati kembar bahwa mereka harus yakin dengan ilmu yang sudah mereka pelajari dan alami sendiri. Yang ngomong dan menjawab kalian itu bisa jadi hanya ngasal, cuma ingin berdebat dengan kalian. Bisa jadi mereka memang tidak punya ilmunya. Jangan sampai kalian yang memiliki ilmu malah jadi ragu-ragu.

Aku bisa memahami situasinya. Omongan dari si anak mungkin disertai dengan intonasi intimidasi, superior, atau semacam itu. Apalagi usianya di atas kembar. Kecenderungannya memang ingin mem-bully kembar.


Lucunya, saat malam hari, Abang bercerita tentang suatu kejadian tanpa menyebut nama orang yang terlibat. Biasanya memang seperti itu. Abang bilang, ada Fulan yang bikin status yang menceritakan omongan seorang ustadz yang mengatakan bahwa channel YouTube-nya, jika dibuka monetisasinya, bisa dapat 1 M sebulan. Tapi dia tidak melakukannya.

Entah apa yang diinginkan sang ustadz dengan ngomong seperti itu.

Salah satu komentar dari status tersebut intinya menyatakan ketidakmungkinan itu. Karena channel dakwah mana yang banyak yang ada kemungkinan bisa sampai dapat 1 M.

Abang, sebagai orang yang -insya Allah-sangat mengerti seluk-beluk tentang ini, menceritakan dan meng-highlight komentar yang satu ini karena Abang juga setuju dengan komentar tersebut.

“Abang gak ikut komentar?” aku tanya sambil tertawa.

“Enggak lah.”

Sebenarnya, pertanyaanku hanya pertanyaan bercanda karena aku sudah sangat tahu bahwa Abang gak bakal ikut komentar di hal semacam ini.

Aku yang juga sedikit-sedikit tahu tentang monetisasi di platform YouTube sebenarnya juga tahu bahwa itu tidak mungkin. Apalagi jika kanal monetisasinya difilter supaya iklan yang keluar hanya yang kira-kira aman. Belum lagi berapa-lah banyak views channel kajian Islam di satu videonya. Ukuran views, iklan yang muncul dan banyak hal lainnya yang berpengaruh bahkan per video, tidak semudah itu bisa menghasilkan uang 1 M dalam waktu sebulan.

Aku langsung menjadikan hal ini sebagai obrolan di meja makan dengan anak-anak. Semuanya tahu kejadian Kholid dengan Fulan kecil. Pas cerita Abang ini, yang sedikit paham mungkin hanya Ziyad dan Thoriq. Tapi aku bawa ke pembicaraan umum, bahwa:

Orang kadang-kadang berbicara, tetapi sebenarnya tidak memiliki ilmunya. Yang memiliki ilmu bisa tahu kalau orang itu salah. Yang tidak memiliki ilmu mungkin bisa langsung percaya atau bahkan terkagum-kagum. Apalagi jika orang tersebut sudah memiliki kedudukan atau posisi.

Makanya, jangan langsung silau. Orang yang memiliki kedudukan bukan berarti dia tahu segalanya. Tahu segala ilmu dan segala aspek. Jika kita memiliki ilmu, jangan sampai jadi kacau dan langsung ragu sendiri.

Jogja, 14 Oktober 2024
cizkah

Buku Menata Hati
Buku Menata Hati [versi cetak]
E-Book Menata Hati di Play Books

Leave a Reply