Siang itu, saya sedang menjemur pakaian di luar rumah sambil ditemani anak-anak. Thoriq yang masih berusia beberapa bulan, anteng di strollernya. Ziyad asyik bergerak sambil mengulang bacaan Al-Qur’an yang sudah dia hafal. Ketika sedang asyik dengan semua aktifitas itu, dari sisi sebelah kiri rumah, lewatlah seorang ibu muda yang berusia sekitar 22 tahunan , menggendong anaknya yang masih berusia kurang lebih enam-tujuh bulan sambil membawa karung besar. Khas beberapa penduduk sini yang memang pekerjaannya mengumpulkan sampah yang bisa didaur ulang.
Saat itu saya berpikir, paling ibu ini hanya lewat sebagaimana laiknya orang-orang yang melewati jalan yang berada di depan rumahku.
Tapi pikiran itu berubah ketika si ibu berjalan ke arah bak sampah besar yang ada di halaman rumah. Posisi saya saat itu tepat berada di dekat tempat sampah tersebut. Hanya saja saya berada di teras dengan berbataskan tembok pendek. Si ibu mulai mengorek-ngorek sampah yang ada di bak tersebut.
Situasi yang cukup mengejutkan dan aneh bagi saya saat itu. Antara pikiran “harga diri” yang ada dalam diri seseorang yang tak selalu sudi mengais sampah. Apalagi jika ia seorang wanita. Apalagi jika dilakukan di depan wanita lain! Miris…
Saya pun dengan bodohnya bertanya, “Cari apa mba…?”
Plak! Rasanya mau menampar diri sendiri. Sebenarnya maksud pertanyaan saya adalah, itu adalah sampah rumah tangga saya. Yang isinya berbagai kotoran, sisa cucian piring, diaper Thoriq yang pesing dan bekas pup, yang saya sendiri mesti berpikir ulang untuk mengais itu semua dengan tangan kosong. Maksud dari pertanyaan itu adalah…apakah ada yang bisa saya bantu untuknya.
Akhirnya kami bercakap-cakap sedikit. Suaminya sedang tertimpa musibah. Tertimpa dinding yang rubuh saat membantu teman lainnya saat sedang melakukan suatu pekerjaan. Jadilah ia yang menggantikan mencari barang rongsok yang bisa dikumpulkan sambil membawa anaknya yang masih bayi tersebut.Oh ya…bayi tersebut bernama Hasna.
Begitu sang ibu lewat…saya langsung menasihati Ziyad sambil menahan haru. Mengingatkan dirinya – dan diri saya sendiri sebenarnya -, untuk selalu bersyukur dengan segala kenikmatan yang dimiliki sekarang. Bisakah para ibu membayangkan, menggendong bayi dengan bobot mungkin sekitar 6-8 kilo selama beberapa jam sambil berjalan kaki? Ibu pemulung tadi biasa pulang saat sore hari sambil membawa karung besar yang di panggul di kepala dan menggendong bayi di punggungnya. Saya juga membayangkan si bayi yang menemani sang ibu bekerja mengumpulkan barang rongsokan ditemani terik matahari…dan mungkin juga hujan…
Bukankah banyak hal yang bisa membuat dan mengingatkan kita untuk selalu bersyukur…
Tambahan:
Sejak saat itu, saya berusaha memisahkan sampah kering dan sampah yang bisa di daur ulang agar bisa memudahkan sang ibu atau orang-orang lain memiliki pekerjaan yang sama tanpa harus mengais-ngais sampah kotor lainnya.
InsyaALlah masih banyak kisah nyata lain yang dapat membuat kita bersyukur. Apakah Anda memilikinya? Silakan kirimkan ke redaksiummi@gmail.com
cizkah
16 Maret 2012
Masya Allah, Tulisan yang sangat menginspirasi, Jazakillah khairan!
Kisah yang tak jauh dengan kondisi seputar rumah saya… Inspiratif banget, Mi…
😀
Inspiratif, Mi. Menggugah pembaca yang kurang bersyukur akan nikmat…
[…] Hal kecil seperti itupun termasuk dari cabang-cabang keimanan. Maka tidak ada salahnya kita “berusaha” sedikit ketika membuang jarum yang tidak terpakai lagi agar tidak membahayakan saudara kita yang lainnya. Misalnya para pemulung yang mungkin mengais sampah-sampah rumah tangga sebagamana yang saya temui di waktu yang lalu. […]