Ketika Aku dan Abang Berbeda Pendapat

Malam Hari

Waktu itu, adalah momen kami akan berenang bersama keluarga. Mumpung ada bapak ibu mertua bersama anak yang dititipkan ke mereka. Juga dengan adik ipar yang sekarang sudah punya anak.

Malam sebelum berangkat, aku memasak ayam ungkep. Persiapan besok tinggal digoreng sebentar. Pergi-pergi begini, apalagi berenang, pasti semua orang bakal lapar banget. Ini salah satu didikan Mama yang di”ajarkan” tanpa “didiktekan” secara langsung. Apalagi bapak mertua ada diabetes. Aku berpikir jangan sampai Bapak makan di luar. Apalagi makan nasi dengan kadar indeks glikemik yang tinggi. Bisa-bisa sisa hari liburan berlangsung dengan kondisi tidak sehat.

Aku minta Ziyad dan Thoriq menyiapkan barang yang diperlukan saat malam hari ini. Alhamdulillah mereka sudah bisa menyiapkan sendiri keperluan untuk berenang. Pagi hari biar bisa lebih ringan menyiapkan hal lainnya dan membantu aku di urusan bersih-bersih rumah.

Pagi yang Padat

Keesokan harinya, aku sibuk menyiapkan bekal, benda-benda yang diperlukan seperti piring, sendok dan hal-hal lainnya. Karena momen pergi ini hari Ahad, itu berarti sepupu Abang yang bantu di rumah juga lagi libur. Otomatis aku harus memikirkan supaya cucian gak menumpuk. Baik cucian piring dan cucian baju.

Untuk cucian ringan tak berminyak, aku sudah minta tolong ke Ziyad untuk mencucinya. Tapi bekas memasak dll tetap aku cuci sendiri. Dan ini langsung aku kerjakan sebelum berangkat supaya tak menumpuk.

Setelah semua beres, aku menyiapkan si kembar. Qodarullah, ternyata sudah mau berangkat, mereka mau pup. K-e-d-u-a-n-y-a.

Sambil menunggui mereka di pintu kamar mandi, aku baru teringat, kebiasaan anak-anak kalau berenang, pasti ingin yang hangat-hangat. Beli mie instant model Pop Mie selalu tak terlewatkan. Akhirnya aku pikir, kali ini disiapkan saja sekalian. Apalagi orangnya banyak. Aku langsung menjerang air yang niatnya akan aku masukkan ke termos kecil. Aku merencanakan nanti di perjalanan bisa mampir sebentar di salah satu toko kelontong untuk membeli Pop Mie.

Sedang merebus seperti itu, Abang mengambil sesuatu di dapur.

Melihat air yang sedang dijerang, Abang bertanya, “Buat apa ini?” Mungkin heran, sudah mau pesan taksi kok malah rebus air.

Aku jelasin ringkas kalau mau aku bawa pakai termos. Buat Pop Mie.

Abang langsung keberatan dan bilang gak usah. Alasan Abang repot, banyak banget yang dibawa, susah, dan hal-hal sejenis itu.

Aku paham bahwa dari sisi laki-laki, bagi Abang “bawa bekal” itu adalah sebuah kerepotan.

Aku juga paham, jika saat itu aku menjelaskan perspektif aku yang lainnya, yang terjadi malah aku akan dianggap tidak patuh atau membangkang. Keributan yang lebih besar akan terjadi.

Tindakan aku selanjutnya adalah diam dan berusaha mematuhi Abang – walau dengan kesedihan yang terpampang nyata di mukaku -. Kesedihan ini karena aku berusaha menyiapkan sebaik-baiknya dari malam tadi dan ada alasan utama lainnya…yang itu belum  bisa tersampaikan ke Abang. Rasanya seperti sudah letih fisik dan hati  bahkan sebelum berangkat.

Aku yang belum selesai menunggui si kembar pup di kamar mandi, bergerak ke arah kompor dan mematikannya.

Setelah itu, aku hanya diam saja.

Abang juga sudah kenal aku pada kondisi semacam ini. Biasanya Abang justru mengajak aku bicara. Untuk segera mencairkan suasana. Aku seperti biasa, gak bisa membalikkan perasaan secepat Abang.

“Dek, supirnya perempuan.”

Abang memberitahu ketika melihat aplikasi Grab.

“Ya udah. Gpp,” aku hanya menjawab singkat sambil menyiapkan diri aku sendiri. Memakai jilbab, kaos kaki, manset dan cadar. Aku masih terus tidak banyak bicara sampai kami masuk Grab.

Ketika masuk ke mobil, aku menyempatkan salam ke mba yang mengemudikan Grab. Alhamdulillah beliau pakai jilbab. “Assalamu’alaikum…”

Mba-nya dengan ramah menjawab, “Wa’alaikumussalam.”

Tapi… sungguh, aku yang  masih belum bisa langsung pasang mental ceria langsung mengalihkan perhatianku ke anak-anak dan tidak melanjutkan ramah tamah dengan mba pengemudi.

“Baca doa naik kendaraan jangan lupa,” aku berusaha menceriakan nada suaraku ke anak-anak. “Subhanalladzi…sakhkhorolana….” kami membaca doa naik kendaraan sampai selesai.

Sepanjang perjalanan, akhirnya aku berusaha memulai pembicaraan pendek ke Abang. Hanya dua tiga potong percakapan selama perjalanan sekitar 20 menit itu. Karena rasanya aneh kalau tidak ada percakapan sama sekali di mobil yang dikendarai orang yang tidak kami kenal. Aku berusaha menepis prasangka yang mungkin bisa terjadi kalau kami tidak bercakap-cakap sama sekali.

Sampai di Kolam Renang

Alhamdulillah sampai ke kolam renang. Ternyata bapak ibu mertua beserta keluarga adik ipar sudah lebih dulu masuk ke arena kolam renang. Ketika bertemu mereka, langsung saja aku berusaha bersikap seperti biasa.

Tidak lama, kami semua sudah menuju kolam renang. Aku ikut menyeburkan kaki di kolam renang pendek. Abang sempat bertanya apakah aku membawa baju ganti. Aku jawab, “Bawa.”

Karena akhirnya aku ikut nyebur secara keseluruhan, Abang bilang pingin sebentar berenang di kolam renang dalam.

Setelah beberapa lama, kembar terlihat mulai kedinginan. Aku mengajak mereka ke area ibu mertua dan istri adik ipar menunggu beserta bayinya yang baru berusia 6 bulan. Aku mulai mengeluarkan bekal yang sudah aku siapkan sambil menghanduki si kembar.

Tidak lama, bapak mertua yang sedari tadi hanya berkeliling di pinggir kolam, dari satu kolam ke kolam lain ikut duduk di area penunggu. Rasanya bahagia sekali karena sesuai dugaanku, bapak mertua pasti lapar. Apalagi kalau sarapan tadi tidak makan nasi. Ibu mertua menyiapkan nasi dan ayam yang sudah aku serahkan.

Menyusul kemudian anak-anak dan yang lainnya menyudahi berenangnya. Seperti sudah dapat diduga, mereka yang habis berenang, walaupun sudah makan nasi, tetap ingin makan yang hangat-hangat. Semuanya menginginkan makan Pop Mie.

Sampai akhirnya kami pulang ke rumah, situasi aku dan abang sudah kembali normal. Seakan tidak terjadi masalah sebelumnya.

Tapi…aku masih menyimpan rasa kecewa itu.

Abang yang sudah bersikap biasa. Anak-anak senang.

Aku tidak ingin merusak suasana ini. Aku bisa menebak dari berbagai situasi yang pernah kami lalui, kalau aku menyampaikan lagi rasa sedihku dan menyampaikan alasanku ingin membawa air panas, yang mungkin terjadi adalah abang malah akan marah dan akan mengatakan,

“Udah kok masih bahas itu. Gak usah dibahas lagi.” Atau kalimat semacam itu.

Jadi, aku masih menahan diri.

Sampai akhirnya, saat makan malam. Anak-anak sudah makan malam lebih dulu. Aku dan abang akhirnya berkesempatan makan berdua di meja makan.

Percakapan kami sampai ke masalah Pop Mie di kolam renang. Tidak semahal di tempat lain. Murah, cuma ambil untung sedikit. Aku tahu, Abang menyampaikan itu untuk menguatkan dan mendukung alasan beliau gak usah bawa air panas dan Pop Mi karena ternyata kondisi di kolam renang ternyata gampang-gampang aja dan murah.

Tapi…aku langsung menyelipkan alasan aku di kesempatan yang pas ini.

“Abang kenapa sih, gak mau bawa air,” Aku mulai menyampaikan alasanku pelan-pelan.

“Padahal Abang kan gak repot. Yang rebus air aku. Gak perlu angkat-angkat, tinggal taro di mobil. Paling berhenti sebentar di warung beli pop mie.”

Alhamdulillah kalimatnya bisa meluncur tanpa terkesan menyalahkan. Aku lanjutkan lagi alasan terbesar aku ingin membawa bekal air panas sendiri.

“Aku kan cuma inget aja kemarin kita lihat orang ngisi plastik es batu dari air yang ada di ember hitam.”

Itu berarti, es batu di warung tersebut kemungkinan besar dari air mentah. Diletakkan di wadah yang sepertinya kurang cocok untuk minuman.

Abang langsung manggut-manggut sambil senyum-senyum. Seakan mengatakan, “Iya juga ya.”

Akhirnya Abang bilang, “Afwan ya…”

Dan kemudian percakapan kami beralih ke hal lain. Kesannya gampang banget yaa..
Tapi kalau ngga tersampaikan mesti masih mangkel sampai besok-besok. Kalau ada kejadian berulang, nanti kesalnya tambah kesal. Jadi, usahain setiap ada masalah itu dikomunikasikan. Walau kesannya remeh temeh.

Komunikasi

Begitulah…

Namanya juga rumah tangga. Ada beda pendapatnya. Ada ribut-ribut kecilnya. Ada hal yang bikin sedih. Ada hal yang bikin menahan tangis dan menahan marah. Anak-anak gak ada yang tahu kalau ada “pertengkaran” antara aku sama Abang.

Namun, dari yang kecil-kecil ini kalau gak dikelola dengan baik memang bisa menumpuk dan bikin kehidupan rumah tangga jadi berangsur menghambar.  Kalau dulu, awal menikah, aku lebih banyak menuliskan kekecewaan aku di buku. Yang sebenarnya Abang bisa membacanya, namun Abang gak suka larut dalam sedu sedan aku hehe.  Kalau sudah berat banget masalahnya dan  aku sulit menyampaikan lewat obrolan, biasanya aku menulis email ke abang hehe.

Kesimpulan lain lagi adalah, di awal-awal pernikahan, biasanya masih banyak celah-celah pertengkaran dan celah-celah itu semakin menjadi karena sama-sama belum tahu bagaimana sebaiknya menghadapi pasangannya di situasi “panas”. Tapi kita berusaha terus saling belajar. Saling memahami. Gak mudah memperbesar masalah. Apalagi sampai bawa-bawa ke orang tua. Simpan baik-baik keluh-kesah yang hanya bikin susah orang tua. Berdoa sama Allah. Insya Allah semuanya bisa berlalu.

Komunikasi tetap harus berjalan dengan pasangan. Jangan dipendam-pendam. Kalau tidak ada komunikasi, susah untuk saling memahami. Komunikasi itu gak mesti ngomong langsung. Kaya cerita aku di atas. Kadang lewat email, kadang lewat tulisan, kadang langsung lewat obrolan. Waktunya pun dicari yang enak.

Semoga bisa bermanfaat.

 

cizkah 18 Januari 2019/12 Jumadal Ula 1440

Leave a Reply