Patah Hati

Akhir pekan kemarin, rasanya aku patah hati.

Udah sering kita dengar kalau salah satu cara hidup sehat itu, jaga pikiran dst. Kemarin, benar-benar rasanya langsung drop banget badan. 

Oh, ini bukan tentang aku dan Abang. Ini adalah tentang aku dan anak pertama yang aku sayangi. Ziyad. 

Seperti biasa, saat ada kejadian atau anak yang membuat aku sedih, Abang nyuruh mereka  minta maaf ke aku.

“Minta maaf ke Ummi. Cium tangan Ummi.”

Kembali ke Pondok

Sejak 3 pekan sebelum Idul Adha, Ziyad sudah kembali ke pondok. Waktu itu, sebenarnya sampai di hari terakhir sebelum hari masuk, kami masih memutuskan dia tetap di rumah saja. Belajar online. Dengan berbagai ketentuan yang kami minta ke pondok berkaitan dengan kegiatan belajarnya agar tidak selalu pegang hp (ini gak aku bahas di sini ya). 

Tapi Ziyad sangat ingin kembali ke pondok. Aku sangat memahami itu. Tinggal lagi meluluhkan Abang yang memang strict hal-hal terkait Corona ini.

Sebelum ada Corona, memang Ziyad lagi semangat-semangatnya menghafal dan sedang mengalami peningkatan kemampuan. Tapi sejak Corona dan di rumah, tentu saja semuanya buyar. 

Sekali lagi aku gak bahas masalah belajar dan pendidikan di tulisan yang ini ya. Panjang juga ceritanya. 

Alhamdulillah, setelah aku bisiki Abang terkait keinginan kuat Ziyad untuk ke pondok, Abang luluh juga dan meminta izin ustadz supaya Ziyad bisa ikut masuk pondok.

Ya Allah, aku belum cerita tentang pondoknya Ziyad ya. Intinya, pondoknya Ziyad gak seperti pondok pesantren kebanyakan. Waktu Ziyad awal masuk, hanya 10 orang yang diterima setelah dites dulu sebelum masuk. Jadi, saat akhirnya dia kembali ke pondok pun, hanya kelas takhossus yang terbatas yang masuk. Jadi, jangan dibayangkan seperti pondok pesantren pada umumnya yang berlimpah-limpah santrinya.

Untuk melatih ketawakallanya kepada Allah, Abang menyuruh Ziyad sholat dan berdoa supaya bisa balik ke pondok. Wasta’iinu bishshbori washsholaah.

Setelah dia sholat, Abang memberitahu bahwa ustadz mengizinkan dia ke pondok.  Ziyad bahagia banget bisa ke pondok. Sampai gak kuasa menahan tangis karena keinginannya ternyata terwujud.

Jadwal Pulang

Setelah pondok mengaktifkan kelas takhossus, karena masih masa pandemi, kebijakan pondok berkaitan anak boleh pulang sepekan sekali berubah. Waktu awal masuk di bulan Juli, anak-anak harus tetap berada di pondok sampai Idul Adha (sekitar 3 pekan). 

Waktu Idul Adha, Ziyad pulang, Ziyad sengaja menunjukkan bahwa dia pingin lagi ke pondok. Sekedar ingin menunjukkan bahwa dia fine-fine aja dan gpp di pondok lama-lama. Padahal kalau kemarin-kemarin sebelum corona, ya maunya akhir pekan di rumah. Enak bisa jalan-jalan, ngopi-ngopi, nyepeda. Narik nafas berat kalau setiap kali mau balik ke pondok.

Tapi, sekarang ini ceritanya dia udah berubah. Dia akan baik-baik saja di pondok walaupun lebih dari sepekan.

Ah, aku kan ibunya. Aku paham dari gesture tubuhnya dan cara bicaranya, bagaimana hakikat perasaan dia sebenarnya. Tapi aku gak mengomentari dan bahas. 

Kepulangan berikutnya juga hanya diizinkan per 2 pekan. Sampai kebijakan pondok berubah lagi. Pilihannya ada 2: boleh sebulan sekali dan bisa di jemput dari Jumat sore –  di antar Ahad sore, atau sepekan sekali, tapi dijemput Sabtu sore dan diantar Ahad sore. Pendek banget ya waktu untuk bersama di rumah. 

Karena bertepatan puasa Asyura, aku yang memang dari kemarin kangen sama Ziyad, minta izin supaya Ziyad bisa dijemput hari Jumat sore. Walaupun baru 2 pekan dia berada di pondok. Aku memberi alasan supaya bisa sahur di rumah.

Berubah

Selama beberapa bulan di rumah, tentu saja adik-adiknya senang. Bisa bermain lagi dengan bang Ziyad. Apalagi Thoriq. Bisa ada teman bercanda dan ngobrol.

Waktu pertama kali Ziyad diantar ke pondok sebelum Idul Adha saja, Thoriq mellow bukan main. Jadi seperti gak mood belajar.

Tapi, 2 kali kepulangan Ziyad terakhir, Ziyad cenderung bawaannya cemberut ketika baru datang. Mungkin letih atau karena protokol sterilisasi selama Corona yang memang melelahkan atau juga karena biasanya sambil habis jemput Ziyad, Abang sekalian belanja makanan untuk di rumah. Mumpung di luar. 

Sampai akhir pekan kemarin, setelah dia mandi dan menghampiri aku untuk salim tanganku, aku langsung ngomong, “Mana dong senyumnya.” 

Thoriq yang dari kemarin senang mendengar kabar Ziyad mau dijemput, sudah senyum-senyum ketika Ziyad datang. Menunjukkan dia bahagia dan langsung ingin bisa bercanda lagi dengan kakaknya.

Abang yang melihat ekspresi Thoriq ketika Ziyad baru masuk, tapi ternyata Ziyad gak senyum dan lebih memilih langsung ke kamar mandi, langsung bisa merasakan kesedihan Thoriq dari perubahan air mukanya.

Tapi berkaitan dengan sikap Ziyad, gak terlalu dibahas malam itu. Semua juga lelah dan baru datang. Pingin suasana yang normal-normal saja. 

Alhamdulillah, malam itu terlalui biasa. Ngobrol. Makan malam, makan bakso yang direbus lagi super panas dan lama.

Keinginan Anak Remaja

Perubahan paling besar dari anak remaja yang aku rasakan adalah adanya keinginan untuk tampil “sempurna”.  Mereka memang ingin pengakuan, tidak terlalu suka diatur-atur. 

Keinginan ini yang bolak-balik harus direm dan cukup menguras energi. 

Ini bukan hanya setelah lulus SD ya. Pelan dan perlahan sudah dimulai dari usianya 11 tahun. 

Kondisi dia di pondok dan dia mulai menunjukkan kesungguhannya untuk menghafal, rasa-rasanya, keinginan hati ingin mewujudkan semua keinginan dan permintaan Ziyad. 

Sampai terakhir kemarin, dari awalannya hanya cerita-cerita tentang parfum yang diberi Abang dan ternyata sama dengan ustadz pengajarnya. Sampai akhirnya dia minta untuk dibelikan parfum dengan merk yang sama. Tapi, kali ini dia minta 1 paket.

Dia juga sempat searching di yufidstore,  karena ustadznya memang sambil bercanda sempat menyampaikan kalau belinya di yufidstore. Hasil searching parfum yang dia inginkan, dia perlihatkan ke aku.

[Abang membeli parfum tersebut sudah lama, dan bahkan sebelum dijual di yufidstore. Abang beli parfum memang suka coba-coba dan baru kali ini dengan merk itu. Lebih karena itu adalah usaha salah satu ikhwan yang Abang kenal. Kalau parfum, Abang lebih sering parfum biang ke salah satu toko biang parfum dekat rumah yang hanya di situ dijual bau yang Abang favoritin, karena memang hasil racikan. Bahkan syaikh Abdurrohman; dimana Abang pernah belajar sebentar ke beliau untuk menambah bekal bahasa Arab, menyukai bau parfum yang disebut sama pemilik toko dengan sebutan los blancos dan ingin memiliki parfum dengan bau tersebut. ]

Aku yang mengetahui harga parfum tersebut, masih belum memberi jawaban pasti. Rasa-rasanya, parfum itu terlalu mahal untuk anak usia dia. Walau insya Allah uangnya ada. Entah kenapa rasa hati ini masih berat. 

Sampai hari Ahad, dia tetap membahas masalah parfum ini. Sampai akhirnya aku menjawab bahwa parfum itu terlalu mahal. Walaupun dia bilang bahwa yang dikasih Abi-nya yang ½ botol bisa untuk 2 bulan, aku tetap menganggap itu bukan barang yang harus diperjuangkan dibeli saat ini. 

Aku ingin, anak-anakku melatih gaya hidup dan keinginannya untuk tetap biasa-biasa saja. 

Aku sampaikan ke dia:

Bedakan antara hadiah dan gaya hidup. Gpp Ziyad dapat hadiah dari Abi parfum dengan merk itu. Tapi bukan berarti Ziyad selanjutnya harus pakai parfum dengan merk tersebut terus menerus. Ziyad masih kelas 2 SMP. Masih usia 13 tahun. 

Masih belum punya penghasilan sendiri. Yang kalaupun punya penghasilan sendiri, juga bukan berarti harus boleh-boleh saja membeli segala sesuatu yang diinginkan.

Aku contohkan lagi dari contoh real, salah satu ustadz yang dikasih hadiah hp mahal atau jam mahal. Tapi dari ceramahanya, ustadz intinya menyampaikan bahwa beli barang/harta itu jangan berlebihan. Kalau dikasih hadiah ya gpp, ustadz terima. Tapi kalau beli sendiri, pikir-pikir dulu. 

Jangan dijadiin gaya hidup.

Aku ingatkan dia bahwa dia dulu dibelikan parfum biang dari toko juga gpp.

Yang sewajarnya. 

Aku nasehati dia, untuk tidak mudah untuk meminta-minta sesuatu ke orang tua. Orang tua, pada dasarnya ingin sekali mewujudkan keinginan anak-anaknya. Jangan bikin jadi ummi merasa bersalah karena gak membelikan permintaan Ziyad. Insya Allah ada uangnya, tapi kalau dibelikan,  itu gak mendidik Ziyad. 

Tentu saja, ada ketidaksukaan karena keinginan dia tidak terwujud. Aku menasehati dia sebelum sholat Ashar. Ternyata, ketika sholat Ashar jama’ah bersama Abang, dia menunjukkan kekesalannya. Saat mengubah posisi kipas angin yang berada di kamar, dia mengubahnya dengan keras dan dihentak-hentakkan. Abang menasehati lagi sekitar 10 menit sebelum sholat.

Kejadian ini, Abang ceritakan setelah selesai sholat dan Ziyad sudah ke teras. Sudah memakai jaket dan menyiapkan perlengkapan untuk dibawa ke pondok.

Abang bilang ke aku, kalau tadi Ziyad bilang pingin 2 bulan di pondok.

Saat mendengar itu, aku langsung kecewa campur sedih. Aku langsung menghampiri Ziyad yang sedang duduk di depan. Aku duduk di hadapannya dan bertanya dengan pelan.

“Ziyad mau 2 bulan di pondok?”

Pada dasarnya, Ziyad sangat memahami ekspresi muka aku. Kalau aku sedang sedih ketika sedang ada hal yang tidak mengenakkan dengan Abang, Ziyad yang biasa menyadari dan menanyakan Ummi kenapa?

Jadi, waktu aku tanya ke dia Ziyad mau 2 bulan di pondok? Dia langsung memahami ekspresi wajahku; merubah sikapnya dan menjawab,

“Enggak, 1 bulan.”

Aku jawab, “Kata Abi tadi Ziyad mau 2 bulan.”

Aku bilang lagi, “Ziyad, ummi ingetin ya….jangan…ambil keputusan…di saat marah. Hasilnya gak bagus.”

Ini aku ngomong ke dia pelan-pelan BUKAN dengan nada marah-marah atau nada tinggi. Lebih ke nada sedih sebenarnya.

Aku ulangi lagi untuk jangan ambil keputusan di saat marah beberapa kali. 

Aku juga tanyakan lagi, “Lagipula, Ziyad marah sama siapa? Sama ummi?”

Abang yang ke depan, ngomong blak-blakan, “Tadi Ziyad ngomong mau 2 bulan kok. Ya gpp. Nanti 3 bulan baru Abi jemput insya Allah.”

Biasa kan, kalau Abang malah diladenin sekalian ditambahin. Nantangin Abi? Abi tantang balik. Lebih ke gitu kan kalau bapak-bapak.

Abang bolak balik mempersiapkan diri untuk mengantarkan dia. Sementara aku masih menasehati Ziyad lagi panjang lebar terkait gaya hidup.

Aku ingatkan bahwa tidak diwujudkan keinginan bukan berarti gak sayang. 

Aku ingatkan lagi contoh-contoh di kehidupan yang akhirnya gak bagus karena gaya hidup. Yang itu terjadi dengan pengetahuan dia. 

Aku ingatkan lagi apa kalau adiknya mau 10 permen, kemudian ummi kasih?

Yang ummi pikirin dari kemarin itu lebih ke, “Oh Ziyad alat tulisnya gimana ya. Apa perlu alat tulis lagi. Oh kapan ya beli buku-buku kelas 2 SMP Ziyad. Dari kemarin Ummi nyari waktu supaya bisa ke toko buku. Minta di antar Abi. Supaya bisa beli buku-buku Ziyad. Yang itu dananya butuh banyak. Dananya diarahkan ke situ. 

Coba bayangin kalau yang Ziyad minta itu sudah harganya mahal, padahal Ziyad ada lagi kebutuhan lain yang lebih utama. 

Dan tentu saja, akhirnya aku nangis ketika menasehati dia ini.

Abang yang sudah selesai menyiapkan diri ngomong ke Ziyad,

“Minta maaf ke ummi. Cium tangan ummi.”

Kemudian akhirnya mereka pamitan. Dan sambil salim ke aku dan aku peluk dia, dia mengucapkan kata “Maaf Mi” dengan pelan. 

Bukan Rezeki

Ziyad dan Abang sudah berangkat. Saat kesedihan masih menggelayuti, aku ke belakang mengurusi krucil. Saat aku menghadapi meja makan, aku dapati ternyata buah-buahan yang seharusnya sebagian besar untuk dibawa Ziyad ternyata belum dia bawa. 

Ya Allah, aku patah hati banget. Aku sengaja pesan buah-buahan itu untuk dia bawa supaya seenggaknya dia bisa dapat asupan buah selama beberapa waktu. Karena memang sudah direncanakan untuk ke depan dicoba 1 bulan sekali – sebelum ada ribut-ribut masalah parfum ini -.

Aku sudah sempat ingatkan dia pagi hari supaya membawa buah-buahan ini.

Rasanya aku ingin mengirimkan buah itu dengan gosend. Tapi aku tahu, pasti abang gak bolehkan karena malah beresiko belum tentu di sana disterilisasi seperti protokol strelisasi di rumah.

Sampai akhirnya aku berpikir, baiklah, aku harus merelakan, memang ini sudah takdir dari Allah. Mungkin supaya Ziyad lebih bersyukur lagi.

Waktu Abang sampai ke rumah, dan aku kasih tahu kalau buahnya gak kebawa, seperti biasa, abang malah ya sudah gpp. Buat pelajaran buat Ziyad.

Malamnya bawaan aku masih sedih dan ingin menangis. Abang tau aku sedihnya sedih banget. Dikecewakan anak itu benar-benar bikin drop. Berkali-kali Abang mengingatkan aku untuk sabar.

“Dek, bagi dia, apa yang adek masakin, adek sediain, beliin buah, itu kaya biasa-biasa aja buat dia. Dia gak anggap itu spesial. Biarin sekarang dia belajar untuk menghargai itu semua.”

“Ini juga sebagai pengingat bahwa kita gak bisa menyandarkan dan berharap ke anak kita. Kita harus berharapnya ke Allah.”

Malamnya aku lihat video dan foto-foto Ziyad waktu kecil. Bikin mata tambah sembab. Rasanya, kalau orang tua itu, mengingat detil tentang anaknya bahkan dari ketika dia baru lahir. Kalau anak, mungkin hanya beberapa hal yang diingat dan belum tentu juga yang baik-baik yang diingat. 

Besoknya langsung down banget fisik aku. Ngantuk, gak semangat. 

Sampai akhirnya, aku menyadari ketika bahas masalah komunikasi dengan anak waktu chat dengan Liya. Waktu aku sampaikan bahwa komunikasi dengan anak itu mesti dilatih dari kecil dan dibiasakan terbuka, di situlah aku menyadari kenapa aku lebih sedih lagi pas kejadian ini.

Karena biasanya, kalau ada kejadian yang bikin aku sedih atau marah, Ziyad biasanya akan berusaha memperbaiki sikapnya ke aku. Kalau kali ini ga bisa.

Bukan cuma kali ini ada kejadian aku nangis karena sedih berkaitan dengan anak-anak. Yang terakhir memang lebih banyak berkaitan dengan Ziyad.

Abang sampai ngomong ke Ziyad di jalan, “Ziyad, kenapa bikin Ummi nangis terus?” Terlalu berlebihan sebenarnya pertanyaannya karena pakai kata “terus”. Tapi ini lebih karena Abang marah dengan sikap Ziyad yang kurang baik.

Yang tambah bikin aku sedih adalah, aku gak mau dia jadi kenapa-kenapa karena dia sudah bikin aku sedih. Mbulet ya. Tapi itulah. Beberapa kali aku sampaikan ke dia, karena memang sudah ada contoh nyata. Pesan yang aku sampaikan ke dia di kali yang lain adalah, 

“Ziyad, yang namanya manusia itu pasti ada godaan-godaan. Mungkin ada saatnya terjatuh pada kesalahan. Pas lagi kaya gitu, salah satu yang bisa ngerem adalah dengan ingat orang tua. Ingat ibu. Gimana hancur dan sedihnya hati ibu. Kalau anaknya bikin kesalahan yang besar. Dan jangan sampai Allah timpakan musibah karena sudah mengecewakan seorang ibu.”

Jadi, dari sejak Ziyad diantar Abang, aku berdoa terus untuk keselamatannya dia. Dan doa-doa lainnya agar Allah limpahkan kebaikan untuk dia. Hafalan dia. Proses belajarnya dia. Semoga Allah beri petunjuk padanya. Semoga Allah beri sifat tawadhu, bersahaja, sederhana.  Semoga Allah mudahkan dia melalui masa-masa pubertas ini dan pencarian jati dirinya. 

Dan lagi momen sedih ini, ketemu status doa ini. Ini gak tau doanya siapa. Bukan dari hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.  Tapi lafalnya bagus untuk dipanjatkan. 

اللمَّ أيّما غُلَامٍ عَلَّمْتُهُ فَاجْعَلْهُ مِن عِبَادِكَ الصَّالِحَينَ

Allahumma ayyamaa ghulaamin ‘allamtuhu, faj’al hu min ‘ibaadikash shoolihiin

“Ya Allah, siapapun anak-anak yang aku ajarkan ilmu padanya, maka jadinkanlah anak-anak tersebut, termasuk hamba-Mu yang shalih. (Al Ithtifal bi ahkami wa aadabil ithfaal, hal 24)

Connected. Alhamdulillah ya Allah.

Di saat yang lain, ketemu sebuah postingan ucapan istri Aa Gym, bahwa saat kita mendapati anak-anak kita sulit diatur atau yang semacam itu, maka saatnya muhasabah lagi sebagai orang tua. Terkait dengan dosa-dosa dan perbanyak istighfar. Ini pun Abang juga sudah ingatkan ke aku kemarin,

“Banyak doa ya dek. Banyak istighfar. Bisa jadi ini karena dosa-dosa kita.”

Alhamdulillah, makin ke sini, aku makin bisa menerima hal ini. Dan bisa lebih lapang dan memantapkan diri bahwa apa yang sudah aku putuskan kemarin sudah tepat. Keputusan untuk gak membelikan yang dia minta insya Allah tidak perlu goyah. Tidak harus juga merasa bersalah. Karena ini demi kebaikannya insya Allah. 

Cizkah

3 September 2020

9 Replies to “Patah Hati”

  1. Maasya Allah, baca tulisan ini ana juga jadi ikut menangis, mba Ciz…
    Karna terkadang ana juga mengalami hal seperti ini dg anak2.
    Alhamdulillah, dapat faidah yang bisa diambil dari tulisan ini.
    Syukron, Jazaakillaahu Khairan…

    1. ♥️♥️♥️ masih suka berdesir sendiri tetap hehe…semoga Allah mudahkan kita semua ya

  2. Menghadapi anak pre teen tuh banyak menguras emosi.. Bkin sedihnya itu benih yg dirawat sepenuh hati kadang ada aja perilakunya yg membuat sedih.. Pdhl kita sudah menasehati dan memberi contoh yg baik.. Bener kt mba kita harus banyak istighfar dan berharap hanya pada Allah..

    1. hehehe, mba Nita sudah punya anak yang usia baligh juga?

  3. Ekta 🌼🌼🌼 says: Reply

    Masyaallah.. Ini menyadarkan diri kalo saya juga kadang bersikap demikian sama ibu. Alhamdulillah, ada faidah yg sy ambil. Jazakillahu khairan..

  4. Aku punya adik remaja jg mba, usianya jauh dariku, sempat mengalami hal2 semacam ini, sempet kesel dg kemauan2nya. Itu pas SMP, tapi dg bersikap konsisten, bahwa ‘uang ga jatuh dari langit’ (akupun bersikap demikian), harus usaha, selalu dikasih tahu kondisi kemampuan ortu, dst.. ‘pada saatnya’ diapun berubah mba, terutama mulai SMA, udah ngerti ga mudah minta2 ke ortu kl bukan kebutuhan karena dia ngerti blm bisa kerja sendiri, kadang2 jualan cemilan juga, hehe.. masyaAllah, insyaAllah ziyad kelak makin dewasa ya mba

  5. MaasyaAllah nangis mbak 🙁 kebayang banget sama situasi saat itu, terutama percakapan sebelum berangkat ke pondok :’(

    1. hehhe alhamdulillah udah berlalu ^^

  6. […] [Udah ada yang baca tulisan judul Patah Hati?] […]

Leave a Reply to Ummu maryam Cancel reply