Percakapan Ibu-Ibu dengan Aku yang Bercadar

Alhamdulillah bisa ikutan puasa kali ini. Yang lebih bersyukur lagi adalah bisa full masak, gak pake beli di luar. Buat bukaan, sahur, nyiapin minuman berbuka dan makanan tambahan pasca sholat tarawih sendiri. Seneng banget walaupun sajiannya sederhana tapi insyaallah lebih sehat dan bikin selera makan dibanding beli lauk di luar. Yang pasti lagi, ya lebih hemat.

Nah, tapi kan gerak aku terbatas banget untuk belanja. Padahal warung sayur dekat rumah ternyata stock selama bulan puasa ini lebih sedikit daripada bulan-bulan biasa. Plus lagi, banyak bahan makanan yang cuma bisa aku dapatin di swalayan. Misal daging giling atau gurami hidup.

Akhirnya ngajak abang Sabtu ini ke swalayan. Berangkat cuma ngajak Luma. Ziyad sama Thoriq – yang lagi kurang enak badan – ditinggal di rumah. Luma pakai rok batik warna merah hasil beli di Beringharjo. Plus jilbab Jersey warna coklat muda. Lucu banget masya Allah.

Pas udah selesai ambil-ambil belanjaan, giliran udah sampe kasir aku ngajak Luma ke kursi tunggu yang ada di sisi luar kasir. Lumayan bisa ngistirahatin kaki. Soalnya perut yang udah kaya hamil 7bulan cepet banget bikin kaki pegel. Kalo udah kelamaan jalan atau berdiri, biasanya perut jadi agak kenceng sedikit.

Cuma tinggal satu kursi dari 4 kursi yang disediakan. Itupun di sela-sela antara ibu berumur setengah baya yang mengenakan jilbab di sisi kiri dan seorang ibu yang juga mengenakan jilbab, berusia sekitar 40-an di sisi kanan.

Aku menggandeng Luma menuju kursi. Pas aku duduk, Luma masih berdiri menghadap aku sambil minum susu UHT rasa strawberry. Ibu separuh baya di sisi kiriku yang.pertama kali menjawil lembut pipi Luma.

“Umur berapa ini…?”

“Dua tahun”, jawabku sambil tersenyum. Tentu saja gak kelihatan. Karena aku pakai cadar :). Tapi kan dari nada suara dan gesture mimik di mata – kalau si ibu melihat- ya ketahuan ya hihi -.

“Berapa tahun?” kata ibu di sebelah kananku.

“Dua tahun…”

“Gede ya..Masa sih dua tahun?” kata ibu di sebelah kananku lagi sambil ikutan menjawil pipi Luma.

“Iyaa..” aku masih menjawab dengan nada riang. “Memang tinggi masya Allah.”
“Kelihatan udah gede ya.” si ibu masih dengan nada tak yakin.
“Iya..mungkin karena roknya yang lebar jadi kelihatan besar.”
“Oiya mungkin ya..”

“Namanya siapa..” kata si ibu kedua.
“Ayo..siapa namanya…udah bisa jawab sendiri kan..?” aku menanyakan ulang ke Luma.
Tapi Luma masih senyum-senyum aja. Terus aku bimbing, “Lu…lu..ma…luma..”

Ibu separuh baya masih mengomentari Luma yang masih asyik dengan susunya. “Anteng ya.”

“Iya..anak perempuan. Kalau kakak-kakaknya beda lagi.” Aku jawab.

“Oo..ini yang ketiga?”
“Gak ikutan kakaknya?”

“Iya. Biar cepet (belanjanya).” jawabku sambil masih tersenyum.

Ibu disebelah kananku masih sempat mengusap kepala Luma. Kemudian lebih dahulu pergi.

Ibu separuh baya itupun ternyata masih melanjutkan pembicaraan yang khas ibu-ibu banget. Tentang harga daging yang ternyata di pasar malah lebih mahal. Sekilo masih 125 ribu. Sedang di swalayan ini 90 ribu. Tentang ikan gurami yang dibeli lebih murah dibanding beli di warung pinggir jalan. Aku pun menjawab juga dengan obrolan ibu-ibu. Tentang alasan belanja di swalayan ini. Tentang ingin membeli ikan gurami yang masih hidup agar lebih segar dst.

Kemudian sang ibu menanyakan tinggal di mana? Pembicaraan berlanjut tentang harga tanah yang aku bilang di tempatku sangat mahal karena sekarang ada apartemen. Si ibu cerita 20 tahun yang lalu, ia membeli tanah di dekat stadion seharga 100 rb/meter. Sekarang harga tanah di tempat yang sama sudah 3 juta/meter.

Pembicaraan terhenti karena abang sudah menuju ke arahku dari kasir.

“Duluan ya, Bu..Assalamu’alaikum…” kataku.
Ibu itu pun menjawab salamku.

***

Malam hari, saat ngobrol sama abang menjelang tidur, aku sempat cerita tentang ibu-ibu yang gemas sama Luma dan sekilas percakapan kami di swalayan sore tadi. Satu hal yang kami sadari bersama sebenarnya adalah, kedua ibu-ibu tersebut gak segan atau merasa aneh bercakap-cakap dengan aku yang bercadar.

Biasa saja. Tidak ada nada atau pandangan aneh samaa sekali.Bahkan percakapan kami pun, percakapan umum yang biasa terjadi di ibu-ibu.
Alhamdulillah atas nikmat ini. Semoga stigma negatif atau label lainnya bagi wanita bercardar yang pernah didengungkan oleh media bisa hilang atau setidaknya tidak mudah merasuk ke benak masyarakat umum. Aamiin.

cizkah
13 Juni 2016/8 Ramadhan 1437

Buku Menata Hati
Buku Menata Hati [versi cetak]
E-Book Menata Hati di Play Books

5 Replies to “Percakapan Ibu-Ibu dengan Aku yang Bercadar”

  1. Masya Allah.. Banyakin lagi mba kisah2 nya ttg cadar #walaupun belum tapi kok ya seneng bgt liat org bercadar

    1. wa..kalau ada komentar suka kelewat untuk jawab
      mudah2an bisa cerita-cerita lagi ya.

  2. Maa syaa Allah Tabarakallah.. barakallahu fiik :)) Jazakillahu khayran Umm untuk ceritanya:))

  3. MasyaAllah, ikut senang bacanya Mba
    Menurut aku tergantung pembawaan ya mba, meski ekspresi terlihat terbatas tp kalau orgnya tulus, ramah itu lawan bicara bisa merasakan.
    Mungkin itu yg dirasakan ibu2x itu:)

    1. Masya Allah laa quwwata illa billah ^^

      Mudah-mudahan yaa mba Irma

Leave a Reply