I don’t know where to start….
Perasaan berdebar dan gelisah berlangsung sejak kemarin. Menimpa kami berdua. Aku dan abang.
Beberapa hari yang lalu, aku membaca artikel tentang bullying di group Sunni Homeschooling. Artikel yang cukup panjang. Namun aku membacanya secara keseluruhan. Bukan tanpa alasan. Karena aku ibu dari Ziyad. Aku mengenal karakternya. Ziyad adalah tipe anak yang tidak suka main dengan hal-hal yang berbau kekerasan. Permainan yang sebenarnya tidak umum namun memang seringkali terjadi pada anak-anak. Kalaupun terjadi, Ziyad kemungkinan besar menjadi anak yang terkena bullying. Setelah membaca artikel itu, aku langsung mengirimkan lewat email ke abang.
Gak disangka, kalau itu memang benar-benar terjadi pada Ziyad. Sudah lama! 🙁
Gambaran tentang Ziyad
Kalau beberapa teman yang mungkin membaca rutin blog ini, mesti sedikit punya gambaran tentang Ziyad. Bagaimana karakternya. Peka dengan hal-hal yang sifatnya sensitif. Mudah bergaul dan berani terutama kepada orang-orang yang lebih tua. Untuk anak-anak yang sifatnya bergerombol, dari pengakuannya biasanya diawal dia akan merasa “malu”. Namun jika sudah “masuk”, dia akan bersenang-senang dengan gembira.
Ada lagi tambahan dari cerita abang. Ziyad sering sekali bilang ke abang, sambil menunjuk sesosok anak perempuan kecil. “Bi, Ziyad sayang sama anak itu. Ziyad jagain.”
Dia juga bilang suka main dengan anak kecil yang lain (laki-laki).
Ini juga pernah dia ceritakan ke aku. Katanya hari itu dia main dengan anak kecil itu. Ziyad suka main dengan anak yang kecil itu.
“Kenapa?” kataku.
“Soalnya gak….- sambil menunjukkan gerakan pukulan dan tendangan -.”
Waktu itu aku pikir hal yang wajar. Aku gak berpikir kalau permainan yang tidak disukai Ziyad itu maksudnya Ziyad dijadikan bulan-bulanan dalam aktifitas tendangan dan pukulan itu.
One day…
Ada pertemuan orangtua di sekolah Ziyad yang diisi oleh seseorang dengan latarbelakang psikologi. Karena hari itu kami harus menyelesaikan berbagai urusan bersama-sama, abang menunggu sampai selesai. Kebetulan ada teman satu kuliahan yang juga menunggui istrinya.
Dan mulailah kenyataan itu kami ketahui.
Si teman abang sampai berkata begini, “Kasihan anak antum. Tiap hari dibegitukan. Istri ana sampai gemas.”
Di saat yang bersamaan, istri teman abang tadi (yang tentu saja juga jadi temanku) juga sedang berbicara denganku. Tapi dia tidak menyebut anak yang terkena bullying (yang itu adalah Ziyad!). Kami cuma sedang bertukar pikiran tentang hal-hal yang kemudian berkaitan dengan proses bullying tadi.
Waktu abang mendengar cerita tersebut, tentu saja beliau sedih.
Fatalnya, hal itu kemudian terjadi di depan mata kami berdua. Ziyad jadi bulan-bulanan. Pertama, Ziyad dikunci di balik pintu gerbang kemudian diejek-ejek. Mereka yang memegang kertas koran yang dilipat-lipat memukul-mukulkannya ke kepala Ziyad. Waktu itu posisi antara aku dan Abang cukup jauh. Sekitar 10-20 meter. Jadi kami tidak saling melihat dan tahu informasi terbaru yang kami terima.
Waktu terjadi di depan aku, aku sibuk melarang anak-anak yang melakukan hal tersebut. Ternyata tidak lama kemudian, Abang masuk ke area permainan dimana aku berada. Dalam keadaan marah. Mencari anak yang menjadi sumber dan pendorong anak-anak lain melakukan hal buruk tersebut. “Mana fulan!!” “Mana fulan!!”
Oh…sedihnya mengetikkan hal itu di sini :(.
Satu anak yang juga giat sekali memukulkan langsung berlari masuk ke dalam. Fulan yang disebut-sebut namanya bersembunyi di lorong bawah mainan perosotan.
Setelah keluar, abang menarik fulan dan menghadapkannya ke Ziyad. Menyuruhnya meminta maaf. Sebenarnya Abang ingin sekali menyuruh Ziyad membalas. Qishosh. Tapi abang khawatir terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Abang juga menyuruhku untuk memanggil tenaga pengajar. “Mana ustadazahnya? Harusnya pas saat gini paling tepat untuk ndidiknya!”
Aku pada saat itu sebenarnya dalam keadaan serba salah. Kecewa sekali. Ironis sekali….
Namun ternyata pertemuan itu pas juga selesai. Yang aku inginkan saat itu adalah segera pergi dari situ.
Acara minta maaf yang dilakukan Fulan, seperti dapat aku sangka sudah cukup untuk membuat keadaan Ziyad menjadi biasa kembali. Dia langsung bermain sebentar bersama teman-temannya yang masih menunggu orangtuanya keluar dari ruang pertemuan. Anaknya insyaAllah memang bukan tipe penyimpan dendam. Aku juga sibuk menasehati anak-anak tersebut, kalau main begini…Enak..sama-sama. Gak dosa…dll dll.
Entah kenapa, saat kami sudah berada di luar, si Fulan tadi memanggil-manggil Ziyad. Memberikan air mineral gelas. “Ini untuk Ziyad.” “Oh yaa…makaasiih..” aku bilang.
Salah satu anak lain yang “semangat” sekali menyakiti Ziyad ternyata sudah berjalan keluar bersama kakak dan ibunya. Dia melambaikan tangannya ke kami dari seberang jalan. Dengan mimik wajah yang sulit digambarkan.
Sepulang dari situ bertepatan dengan adzan Dzuhur. Abang masih tidak tenang. Bagaimana bisa tenang. Jika anak kita menjadi bulan-bulanan. Bagaimana bisa tenang jika kami…ah terlalu sulit diungkapkan. Bagaimana jika anak mereka yang disana yang dibegitukan :(. Dan aku baru diceritakan pembicaraan antara abang dengan temannya itu.
Acara makan siang hari – yang seharusnya menyenangkan itu – diisi dengan diskusi antara aku dan abang. Sungguh proses bullying ini sangat berbahaya untuk mental kelanjutan. Abang nanya ke aku, “Pengaruh gak sih de?”
Aku bilang…ya pengaruh. Dan hari itu aku menceritakan proses bullying yang terjadi padaku saat aku kelas 6 SD. Cerita yang belum pernah aku ceritakan ke siapapun. Bahkan ke Mama atau anggota keluargaku :(. Kejadian yang terlihat sederhana namun mempengaruhi beberapa keputusan lumayan besar. Keputusan yang berpengaruh pada jalan hidupku.
Siang itu sudah ada keputusan dasar untuk memberhentikan Ziyad. Kami juga mengajak Ziyad berdiskusi. Gimana kalau berhenti sekolah. Ziyad sedih? Ya sedih. Ziyad mau tetap sekolah? Iya mau. Ziyad mau digituin terus sama teman-temannya? Ya gak mau.
Di rumah kami masih mengulang pertanyaan yang sama. Ziyad bilang mau sekolah. Ziyad bilang dia gpp “digituin” teman-temannya.
Waw…Ini yang abang takutin. Kalau sampai dia merasa nyaman-nyaman saja dibullying oleh teman-temannya. Walaupun pas proses kejadiannya dia menangis dan merasa tidak suka. Tahu kan, ada saat-saat dimana seseorang ingin diterima di suatu lingkungan dan rela diapa-apain atau berperilaku – walaupun itu salah – agar tetap diterima di lingkungan tsb.
Dan selama 2 hari ini, kami pun masih sibuk membahas hal tersebut. Dan membulatkan diri untuk keduakalinya melakukan proses unschooling.
Memang hal bullying akan ditemui dimanapun. Tapi entahlah. Kami merasa lebih baik untuk saat ini menghindarkan Ziyad dari hal-hal yang sama yang terjadi setiap hari. Apalagi Ziyad masih kecil dan justru masa kecil ini yang sangat membekas. Apalagi kalau di benak teman-temannya sudah tertanam kalau Ziyad merupakan sasaran “asyik” untuk menerima perlakuan mereka.
Sambil itu, kami akan berusaha insyaAllah menguatkan mental Ziyad dan menyiapkan berbagai hal agar Ziyad lebih siap jika harus menghadapi situasi demikian di masa depan. InsyaAllah.
Di tulis 9 Desember 2012
Untuk membaca artikel tentang mengantisipasi bullying tadi bisa di sini.
Untuk mengetahui segala hal tentang (bahaya dll) bullying silakan googling atau youtubing..
***
Update Juni 2013: Sebelum menyekolahkan Ziyad di atas, Ziyad sudah menjalani homeschooling, dan proses sekolah di atas alhamdulillah hanya 6 bulan. Dan sampe Ziyad umur 6 tahun sekarang aku bersyukur tetap menjalankan homeschooling.
Semoga segera diberi jalan keluar.
Anak ana, Ramza, sepertinya dulu juga ada yang nakalin… tapi karena diajarin untuk mbalas ya… parah mbalasnya hahaha… yang penting sih gak mulai duluan. Tapi karena yang di bully berani, sepertinya si bully udah gak macem2 lagi. (gimana mau macem2, mata si bully ampir kecolok pensil).
Ngajarinya cuma satu, gak boleh duluan, tapi kalo sampe bertengkar, jangan sampe nangis sendiri. harus berani. just sharing
Iya, sebenarnya Ziyad juga diajari. Ziyad juga suka ikut/nonton latihan Thifan bareng abinya Tapi kalau di rumah dia tahu gerakan2nya. Fisik Ziyad juga paling tinggi dibanding teman-temannya. Tulang badannya juga keras. Kami sendiri sangat kesakitan kalau kejedot atau bertabrakan dengan Ziyad.
Jadi yang perlu diperbaiki dalam hal ini adalah kepercayaan diri akan kemampuan dan kelebihan yang dia miliki.
Dan kemarin suami memberi kesadaran ini kepada Ziyad dan teman-temannya.
“Ziyad itu tinggi. Kalau kamu dipukul nanti bisa langsung jatuh.”
Temannya itu tetep ngeyel, “Aku juga tinggi.” Terus dia manjat sebuah pijakan, dan tetap saja dia lebih pendek dari Ziyad.
Sama, kita juga gitu, kalo dipukul, balas. Dipukul satu kali, balas satu kali. Gak boleh 2x. Yang kuat.Dst…
Makasih sharingnya…
Bener berarti kurang PD aja. ya udah tinggal proses aja. yang penting disyukuri sudah segera ketahuan.
Numpang comment Mbak Ciz, saya dah lama mengikuti tulisan Mb Cizka dari blok yang dulu sampai sekarang. Membaca tulisan kali ini pengen ikut nimbrung juga.
Memang tidak bisa dipungkiri, ortu mana yang mau anak tercintanya diperlakukan tidak baik oleh orang lain, terlebih sesama teman permainannya. Namun disini saya membaca bahwa putra Mbak Cizkah bukanlah seseorang yang perlu dikhawatirkan karena dia tidak merasa terganggu dengan aktivitas yang terjadi di sekolah. Dunia anak tidak sama dengan dunia dewasa, biarkan anak kita berkembang di dunianya. Buktinya mereka yang setelah menyerang berubah bersikap manis pada Ziyad, walaupun mungkin di lain waktu akan bermain serang-serangan lagi.
Perlu kita pahami bahwa dunia anak-anak itu dunia bermain, mereka belum mengerti kejahatan yang sebenarnya. Asal tidak membahayakan, saya rasa kita belum perlu menarik anak kita dari lingkungannya, tentunya dibarengi usaha perbaikan atau pencecahan agar tidak berlarut-larut atau semakin menjadi-jadi.
Jadi menurut saya, Mbak Cizkah tidak perlu ketakutan dan terlalu khawatir. Anak Mbak bukan tipe pemogok, banyak ortu bingung karena anaknya tidak mau sekolah, mogok berangkat karena dinakali teman, tapi Ziyad tidak demikian, mungkin karena dia masih merasa aman ada guru atau orang dewasa lain yang sewaktu-waktu melindunginya (bisa jadi).
Jadi,… saya rasa perlu dibicarakan dulu dengan pihak sekolah bagaimana tentang keseharian Ziyad dan teman-temannya, bagaimana pemecahannya, jangan terburu dicut dari aktifitas sekolahnya, kecuali memang dari awal Mbak sudah tidak antusias dengan belajar di sekolah karena sudah cocok dengan belajar ‘homeschooling’. (Artikel yang sudah-sudah).
Justru disinilah anak Mbak sedang digembleng dalam proses ‘sosialisasi’ dan insyaAllah dia kuat menghadapinya. Apakah tega keberhasilan anak tersebut dicut gara-gara alasan sayang yang teramat besar padanya?
(Mohon maaf jika kurang berkenan, tapi saya harap bisa buat bahan renungan).
iya tin…ada banyak hal yang gak bisa ana jelaskan dan ceritakan di tulisan kali ini.
Jadi mungkin yang ditangkap tini seperti yang tini komentarkan :).
Ini udah ditimbang dari berbagai sisi in sya Allah.
Btw…ini tininya Putra bukan?
mbak cizkah.. yara jadi menangis bacanya.. *hiks*
mbak, jazakillahu khair, yara banyak belajar mengenai kehidupan mendidik anak dari blog ini. Sejak pertama kali yara menemukan blog mbak, sampai sekarang, yara selalu mengikuti perkembangan kedua anak mbak dari cerita mbak di blog ini. Sampai-sampai, saat yara baca cerita ini yara sampai menangis .. Yara sebenarnya ingin berkomentar karena kasus ziyad ini terjadi pada adik yara (yang umurnya berjarak 3 tahun lebih muda dari yara) saat dia seumuran ziyad. Tapi yara hanya punya pandangan sebagai kakaknya, dan lagipula yara masih kuliah di semester 5 saat ini, belum berkeluarga dan belum punya anak, jadi belum punya porsi untuk berkomentar karena belum mumpuni ilmunya. Yara doakan semoga mbak cizkah dan suami segera dapat jalan keluarnya (yang terbaik) yah.. Insya Allah, yara doakan juga semoga dari yang ziyad alami, ziyad kelak menjadi semakin dewasa pemikirannya dan bijaksana juga menjadi teladan.. aamiin
makasih yara…atas empatinyaa ^^
Iya ni…kami in sya ALlah mo lengkapin mainan edukatif aja di rumah…sambil menunggu masa untuk masuk SD.
Lihat perkembangannya nanti in sya Allah…
assalamualaikum wr wb..
saya ikut prihatin atas yang menimpa ziyad…dan saya setuju bahwa bulying bukanlah hal yang bisa ditoleransi sebagai hal sepele dan “ujian” dalam bersosialisasi…anak saya terbesar aisyah 3.5 tahun, saya sudah memilih unschooling sejak aisyah kurang dari setahun….sosialisasi merupakan salah satu alasan kenapa saya putuskan untuk tidak menyekolahkan anak saya…karena bagi saya sosialisasi bagi anak adalah salah satu sarana untuk menurunkan nilai2. karena itu saya merasa perlu pendampingan pada anak disaat mereka bersosialisasi baik dengan orang dewasa ataupun dengan yang sebaya….dan kebanyakan orang tua membiarkan anaknya dibulying ataupun membulying dengan alasan itu urusan anak2 biar mereka selesaikan sendiri…Padahal anak2 belum mengerti mana yang benar dan salah disanalah seharusnya peranan orang dewasa sebagai pembimbing…..mereka belum tau cara menyelesaikan masalah diantara mereka, saya pribadi tidak pernah membiarkan anak saya bersosialisasi tanpa saya awasi, karena jujur sayapun tidak percaya pada orang dewasa lain yang cenderung membiarkan(dari pengalaman), saya selalu tekankan pada aisyah kalau bermain harus sama2 senang,jangan menyakiti binatang, dan kalau ada teman yang mengancam untuk tidak mau main lagi bersama jika dia tidak menuruti keinginan mereka, tinggalkan, kalau dia merasa keberatan pergi saja, karena yang terpenting bagi saya dalam bersosialisasi adalah sama2 senang tidak ada yang merasa terpaksa, karena sayapun sebagai orang dewasa kalau ada teman yang saya tidak cocok ya saya pergi…..
saya ingin dia bisa berkata tidak, dan bisa menerima kata tidak dari orang lain….
alhamdullillah dia tidak gampang di intimidasi oleh teman2 sebaya ataupun yang lebih tua darinya….ketika dia sudah cukup percaya diri dan lengkap menyerap nilai keluarga kami (karena lingkunganpun menyumbang nilai2 kepada anak) mungkin usia 12 tahun baru saya merasa aman dia bersosialisasi secara mandiri……
bertolak belakang dari yang dipercayai orang2 sekolah bukanlah tempat terbaik untuk bejar bersosialisasi…..bimbingan dari guru sangat terbatas, apalagi jika kelasnya besar, bulying dan membulying selalu terjadi dan dianggap biasa, apalagi tekanan untuk diterima gerombolan sangat besar, sehingga nilai2pun jadi seragam, anak tidak berani menjadi berbeda dan jadi diri sendiri, saya ingat dulu melakukan hal2 yang tidak saya setujui atas nama setia kawan……saya tidak ingin punya anak yang baik, saya inginkan anak2 saya jadi orang dewasa yang baik……dan menjadi dewasa berarti berani menjadi diri sendiri, berani berkata tidak dan berani menerima kata tidak
wa’alaikumussalam warahmatullah
komentar yang bagus banget masya Allah…apalagi masalah sosialisasi itu. Seperti saya pernah tulis juga di salah satu postingan. Saya juga punya perasaan yg sama dg mba dyah.
Pas lihat Ziyad main2 sama teman2nya di rumah (pas blom nyboa sekolah), saya ngerasa in sya Allah gak ada yang perlu dikhawatirkan ttg sosialisasi. Malah saya ngerasanya belajar sosialisasi itu ya di lingkungan (bisa di sekitar rumah, baik dg anak2 ataupund dewasa). Nanti pas di sekolah ketemu teman/orang, dia mempraktekkan apa yang sudah diterapkan dilingkungan. Yang dilingkungan itu krn dekat rumah jadi terawasi.
Ah jadi pingin bikin postingan tersendiri nih hehe
[…] sudah memutuskan homeschooling sejak Ziyad usia 3,5 tahun. Sempat mencicipi memasukkan Ziyad selama 6 bulan di TK. Kemudian memutuskan untuk melanjutkan proses homeschooling […]
[…] Ziyad mulai sekolah juga, terasa bedanya kan. Thoriq seneng kalo Ziyad pulang. Aku sampaikan itu ke Ziyad. “Adik […]
Um, sedih banget ya lihat anak korban bullying. Bbrp waktu ada Ummahat yg sahring sambil menahan air mata, curhat ke ustadz tntg anaknya yg SMP yg qodarullah tdk pnya daun telinga tp biidznillah masih bisa mendengar jelas. Anaknya sampai pingsan gegara di bully dan dia nga bisa balas, sprt memendam perasaan yg amat sedih smpai pingsan 😦
Sedang scrolling, ternyata ketemu lagi dengan blog ini. Masya Allah, masih aktif blognya.
Ziyad seumuran dengan anak saya yg sulung.
Waktu dia kecil, saya hobi baca tulisan Mbak.
Salam kenal ^^
[…] dari teman-temannya setiap hari itu gak ada tindakan apa-apa dari pihak guru. Malah dibiarkan. Teman Abang yang menceritakan ke Abang sebenarnya waktu itu cerita kalimat istrinya ke Abang, “Kok kaya guru-gurunya sentimen gitu […]