Sudah sebulan lebih beberapa hari sejak kejadian kecelakaan yang menimpa Abang dan Thoriq. Sampai saat ini, aku masih “beradaptasi” dengan semua hal yang terkait konsekuensi dari kecelakaan ini. Sebenarnya, aku sangat ingin menuangkan tentang adaptasi ini. Tapi, rasanya cerita ini akan lompat dan sulit dipahami. Kenyataannya, adaptasi ini sudah dimulai bahkan sejak awal kejadian.
Aku harus kuat…harus lebih kuat lagi…lebih dan lebih lagi daripada sebelum kecelakaan ini…
—
Saat Kecelakaan
Hari itu, Selasa tanggal 15 Juli 2025. Rasanya kehidupan berjalan lancar, damai dan alhamdulillah banyak yang bisa aku kerjakan.
Aku mulai ngerasa agak gak enak badan dari hari Ahad 13 Juli. Hari Ahad itu, aku sudah mengistirahatkan diri. Tapi karena sudah merebus stok daging kurban yang kami miliki, hari Senin 14 Juli, pagi hari, alhamdulillah aku bisa menyelesaikan masak Briyani. Catatan harian di tanggal ini adalah catatan terakhir yang aku tulis sebelum kecelakaan. Aku bisa tahu detail di hari tanggal 14 Juli itu. Siang hari, aku sudah mulai demam, pusing, mual. Alhamdulillah tapi semua lauk sudah tersedia. Karena demam inilah, aku tidur cepat di hari Senin tangggal 14 Juli.

Biasanya, kalau aku tidur cepat, tengah malam aku akan bangun dan kemudian beraktivitas sampai pagi karena biasanya sudah akan merasa lebih segar. Tapi malam itu ngga seperti biasanya. Aku tidur sampai Subuh. Menunjukkan memang aku benar-benar gak enak badan.
Karena cukup istirahat, alhamdulillah, walau merasa masih gak enak badan, pagi tanggal 15 Juli, aku malah bisa menyimak hafalan baru kembar. Bahkan mengajar matematika dengan mode santai. Benar-benar aku sudah siapkan mode mengajar yang santai supaya gak harus “berteriak” ketika mengajar yang bakal menguras energi.
Jam 10-an, ketika kami mau qoilulah, Abang masih mengecek dahiku, mengelus-ngelus kepalaku. Badanku, masih sedikit hangat. Abang bilang, hari ini gak usah masak aja. Biasanya, karena tidur malam yang masih kurang, aku akan tidur lebih lama. Tapi kali itu aku hanya qoilulah satu jaman. Siang itu, kami makan dengan membeli lauk matang.
Menjelang sore, aku sempat mengeluarkan stok lauk yang aku pikir bakal mudah masaknya. Tapi, aku masih mengajar dan menyimak hafalan anak-anak dengan mode santai. Karena mode slow ini lah, aku juga gak buru-buru atau memaksakan diri untuk multitasking. Karena ada hal yang aku dan Abang sedang upayakan, aku berusaha menyelesaikan membuat form untuk kelas bahasa Arab. Untuk mengiringi ini, aku mengedit foto dan tulisan tentang Untuk Apa Belajar Bahas Arab yang memang sebenarnya sudah lama ingin aku buat tulisannya. Aktivitas ini bisa dikerjakan sambil duduk atau di kasur, gak harus berdiri atau mondar-mandir. Targetnya memang edit dan upload ini dikerjakan di sela-sela aktivitas bersama anak-anak karena biasanya malam hari adalah waktu aku untuk menunaikan tanggung jawab untuk pekerjaan – walaupun gak enak badan, biasanya aku tetap kerja kecuali memang demam banget. Pokoknya slow dan berusaha tenang banget aktivitas hari itu, diiringi tetap berusaha menyelesaikan target-target di tiap jenis tanggung jawab insya Allah.
Setelah Maghrib, Abang bilang gak usah masak. Biar Abang beli lauk aja. Abang menyegerakan pulang sholat Isya. Biasanya Abang masih dzikir dulu dan sholat ba’diyah. Aku yang biasa sholat bersama Luma di ruang poster yang juga sekaligus ruang kerjaku, tetap berada di situ.
Saat itu, Kholid belum aku simak untuk hafalan lama. Menyimak hafalan 4 anak memang gak bisa satu waktu semua selesai. Kadang terselip dengan kegiatan lain-lain. Tapi semua tetap harus menyetorkan hafalannya.
Biasanya, kalau menyimak kembar, aku bisa sambil melipat baju. Tapi kali ini, aku memilih gak “sambil-sambil”. Biar gak keluar banyak energi. Aku simak kembar di ruang poster ini. Luma, Kholid dan Handzolah berkumpul di dekatku. Kholid menyetorkan hafalan lamanya, surat An-Najm.
Sejujurnya, bagian Kholid setor hafalan ini aku udah lupa sama sekali. Tapi di suatu pembicaraan yang sering kali kami bahas ulang pas momen dapat berita Abang kecelakaan, Kholid yang bilang, “Kholid lagi setoran surat An-Najm.” Ya Allah…iya ya. Aku langsung kaya jadi keingat posisi aku duduk dan suasananya. Di hadapanku memang ada tablet -yang ternyata untuk membuka aplikasi Al-Quran- dan mereka lagi ngumpul karena nunggu Kholid selesai setoran hafalan. Karena biasanya setelah semua kewajiban belajar ditunaikan, mereka aku bolehkan nonton atau megang gadget selama 1 jam.
Karena Thoriq sempat minta dibeliin sendal karena sendal karet yang lama udah rusak total, ternyata Abang juga mengajak Thoriq sekalian. Abang berangkat ke arah Pogung, ke arah selatan dan melewati satu perempatan lampu merah yang posisinya dekat rumah.
Kayanya, baru beberapa saat Abang pergi bersama Thoriq. Tiba-tiba, sosok Ziyad di dapur terlihat dari pintu ruang poster. Sambil pegang hp, muka panik, “Astagfirullah astaghfirullah, Abi kecelakaaan Abi kecelakaaan..tangan kanan Abi patah.”
Waktu itu, rasanya campur aduk. Antara “Bener nih?”, “Kan baru aja keluar”, “Patah? Tangan kanan?” “Beneran tangan kanan?” Rasanya di otak aku ada sisi denial di bagian patah. Apalagi patah tangan kanan. Berharap: ini ga beneran. Berharap: bukan tangan kanan. Kok cepet banget kecelakaan dan patah. Gimana kejadiannya? Masih dengan penuh pertanyaan yang belum bisa kebayang jawabannya.
Ziyad tahu kejadian ini dari voice note yang dikirim Thoriq. Aku langsung telpon Abang. Terdengar suara Abang yang bergetar, “Tangan Abang patah, Dek.”
Ah…ternyata ini beneran…
Muncul di salah satu sudut pikiranku: Ya Allah…rasanya, baru tadi siang kami mengupayakan mewujudkan bagian dari ikhtiar kami untuk kehidupan ini. Ya Allah… ya Allah…
Hatiku lemas. Tapi otak dan fisikku harus kuat.
Bersiap-Siap Menuju Lokasi Kecelakaan
Bisa dibilang, langsung terlupakan rasa gak enak badanku. Aku berusaha tenang. Dalam beberapa kondisi yang cukup bisa bikin panik, alhamdulillah selama ini Allah beri aku ketenangan. Selanjutnya aku bertanya dimana posisi Abang. Tadinya hanya Ziyad yang mau berangkat. Tapi aku pikir – dengan logika masih sangat sederhana bahwa ada Abang dan Thoriq yang perlu di bawa ke rumah sakit. Berarti butuh 2 orang bawa motor, yaitu aku dan Ziyad.
Aku dan Ziyad berusaha cepat bersiap-siap. Aku ingat isi dompetku waktu itu hanya ada beberapa ribu. Aku mengambil dua amplop kecil uang simpananku yang sengaja aku tabung dalam bentuk tunai. Uang yang sedang aku tabung untuk membeli motor tambahan. Masih jauh dari target. Aku mulai mengupayakan ini baru-baru ini dengan pertimbangan Ziyad yang sudah mulai kuliah dengan jam kuliah yang tidak fixed seperti dia di Ma’had Ali dulu yang sudah ketahuan siang sampai sore. Jogja tidak seperti dulu yang ramah kendaraan umum. Bisa dibilang, satu motor kemungkinan akan lebih sering dipakai Ziyad selama sepekan. Berarti, kami perlu motor tambahan. Gak harus segera tapi perlu diupayakan insya Allah.
Kembar dan Luma cukup shock mendengar Abang kecelakaan. Aku berpesan kepada mereka karena meninggalkan mereka di rumah sendirian, “Kalian bertakwa. Kita lagi dapat musibah. Jangan ditambah dengan maksiat.”
Aku bergegas memakai jilbab, membawa yang kemungkinan sangat dibutuhkan saat di RS. Luma dan kembar aku pesankan untuk tutup pintu dan jaga diri.
Sampai di tahap ini, berarti kami semua belum makan dan posisi sudah lewat dari jam 7.30 malam.
—
Di Lokasi
Aku dan Ziyad sampai di lokasi. Lokasi paling terang di area situ adalah warung penjual bakmi. Penjualnya sedang sibuk memasak. Posisi Abang bukan di warung bakmi, tapi di bangunan sebelahnya. Abang berada di depan bangunan yang bagian depannya tidak berlampu. Gelap. Muka Abang sudah menunjukkan bukan Abang yang biasanya. Kesakitan, panik, bingung. Tangan kanannya menjuntai.
Aku dan Ziyad menghampiri Abang. Abang menceritakan secara singkat kejadiannya. Abang dan Thoriq sedang berkendara dengan pelan dan posisinya di pinggir. Abang memang jarang mengendarai motor dengan ngebut. Saat itu, Abang sedang asyik mengobrol berdua Thoriq ketika tiba-tiba ditabrak keras dari belakang. Kemungkinan besar yang menabrak adalah mobil.
Abang dan Thoriq tersadarnya sudah dalam posisi jatuh. Awalnya, Abang kira tangan Abang putus karena saat posisi sadar terjatuh, posisi lengan tangan bawah Abang tegak dan gak di posisi berpasangan dengan siku. Bahkan Abang sempat berteriak ke Thoriq, “Thoriq…tangan Abi putus!” Saat kejadian, ada gojek-gojek yang membantu dan sebenarnya menawarkan untuk membawa Abang ke rumah sakit. Iya…Abang dan Thoriq, korban tabrak lari.
[Dari info selanjutnya yang aku dapat dari Zakkiy yang datang ke lokasi kejadian keesokan harinya saat mengumpulkan bukti kejadian ke kepolisian, ada bekas garis memanjang di aspal di lokasi ke jadian. Kemungkinan besar itu adalah saat motor terseret ketika jatuh]
Kami langsung memutuskan ke rumah sakit Sakina Idaman karena itu rumah sakit terdekat. Kalau dipikir-pikir sekarang, memang blank banget dengan tingkat keparahan patah tulang Abang. Aku juga ngeblank dengan tingkat kemampuan dan kelengkapan dokter di Sakina Idaman. Taunya hanya karena aku melahirkan kelima anakku di sini, dan insya Allah nyaman, maka kalau Abang perlu di rawat inap, aku sudah tahu kondisi rumah sakitnya.
Karena ada mobil di depan warung bakmi, Ziyad mengambil posisi sudah di depan mobil untuk memboncengi Abang. Sementara aku yang kesulitan memundurkan motor, dibantu Thoriq untuk menurunkan dari trotar. Tapi saat Thoriq sedang menurunkan motor itulah aku melihat Abang yang masih terdiam di sisi motor yang dikendarai Ziyad. Di situ aku mulai sadar, sepertinya Abang gak bisa naik motor.
Aku segera menghampiri. Ketika aku berusaha cepat mencari solusi, seorang perempuan muda berjilbab sambil menggendong anak kecil berusia sekitar 1,5 tahun keluar dari mobil yang sedari tadi parkir di depan warung bakmi. “Pak, biar saya antar ke rumah sakit. Gpp…ini kasihan, gak bisa ini naik motor. Tapi ini saya nunggu pesenan saya selesai dulu.”
Alhamdulillah ya Allah. Aku sudah sangat berterima kasih saat itu. Sambil menunggu, aku mengarahkan Ziyad. Ada adik-adiknya di rumah yang belum makan dan kami yang juga belum makan.
“Ziyad, Ziyad beli lauk. Ayam dkriuk aja. Ziyad beli 3 tanpa nasi buat adik-adik di rumah. Ziyad beli 4 yang pakai nasi. Abis Ziyad antar lauk buat adik-adik, Ziyad susul Ummi ke rumah sakit bawa lauknya. Kita semua belum makan.”
—
Ke Rumah Sakit Sakina Idaman
Aku mengendarai motor yang Abang dan Thoriq kendarai saat kecelakaan. Kata Abang, malam itu sebenarnya Abang sangat khawatir ketika aku bawa motor ini. Alhamdulillah Allah mudahkan masih bisa aku kendarai. Aku sengaja duluan ke Sakina Idaman.
Bisa dibilang, aku juga masih cukup shock. Karena sudah pernah ke IGD Sakina Idaman, alhamdulilah aku gak terlalu bingung. Tapi aku sempat kurang bisa mengontrol antara mau parkir, mau berhentiin motor dan mau segera bertanya ke dalam. Sampai aku ditolong sama bapak satpam yang menjaga. Ada sekitar 3-4 orang. Mereka bantu aku matiin motor dan menurunkan standar motor.
“Pak, suami saya baru aja kecelakaan. Patah tangannya. Di sini bisa gak ya?”
Aku disuruh bertanya ke dokter jaga di dalam dan ternyata, di sana gak ada dokter orthopedi. Bertepatan aku keluar pintu, mobil yang mengantar Abang juga sampai. Ternyata mobil yang menolong kami dikendarai oleh dua perempuan bersaudara, mba Novi dan mba Aulia. Mba Novi membawa mobilnya dengan sangaaaaat pelan, karena goncangan sedikit saja sudah sangat membuat Abang kesakitan. Kata Abang, selama perjalanan ke Sardjito, mba Novi mendapat makian dan marahan dari pengendara lainnya karena berjaan sangat pelan. Ya Allah, ampunilah kami kalau kurang bisa berhusnudzhon ketika ada mobil yang dikendarai dengan sangat pelan.
–
IGD Sardjito
Aku sampai lebih dulu di IGD Sardjito. Aku memarkir sementara untuk bertanya dengan satpam. Aku diarahkan untuk memarkir motor di dekat area rawat jalan 1 di dekat sudut gerai Kopi Kenangan.
Alhamdulillah, gak lama Abang dan Thoriq sampai. Aku mengucapkan banyak terima kasih ke Mba Novi dan Mba Aulia.
Abang dan Thoriq langsung ditangani oleh dokter residen orthopedi. Pakaian mereka berwarna marun. Aku diminta mengurus administrasi di loket depan. Alhamdulillah, aku punya softfile untuk identitas Thoriq yang didasarkan dari Kartu Keluarga. Chat yang aku buka untuk mendapatkan file ini adalah percakapanku dengan Bu Tuti karena urusan administrasi PKBM. Alhamdulillah, jadi pelajaran bahwa di era sekarang, kita memang sudah harus menyiapkan semua softfile dokumen yang biasa dibutuhkan dalam urusan administrasi.
Aku cukup bolak-balik untuk urusan administrasi sementara Abang dan Thoriq ditangani dokter. Luka-luka yang tampak nyata dibersihkan. Abang yang baru datang, ketika mau diminta naik kasur sudah sangat kesusahan. Kalau bergerak, ada bagian yang seperti nusuk di tangannya. Kalau melihat hasil rontgennya, barulah kami bisa paham, “Pantesan aja sakit banget.” Patahannya membentuk sudut-sudut tajam di segala sisi. Fractur humerus.

Karena harus dicek seluruh badan, sedangkan badan dan terutama tangan Abang sangat gak bisa digerakkan karena pasti jadi kesakitan, dokter harus menggunting sweater -kesayangan-, baju dan celana jeans – yang alhamdulillah sudah sangat lusuh. Alhamdulillahnya, hari itu, Abang tumben-tumbenan pakai dalaman celana panjang ringan seukuran 3/4. Abang minta dokter jangan menggunting celana yang ini. Insya Allah bagian kaki Abang dan paha Abang merasa gak papa. Celananya juga mudah untuk digeser ke atas jika dibutuhkan untuk mengecek bagian paha.
Saat awal Abang baru diobservasi -belum sampai digunting bajunya-, adik laki-laki Abang sempat datang, walau akhirnya disuruh keluar oleh dokter karena mau memvideokan. Aku gak sempat melihat karena posisinya benar-benar masih di luar tirai. Abang punya adik di Jogja? Oh…punya :).Tapi…rasanya aku gak bisa ceritakan detilnya di sini. Kalau ada di social media ada seseorang musibah terus ada komentar yang bertanya, “Itu keluarganya emang kemana?” Rasanya aku bisa ada gambaran jawabannya. Hanya sebentar kehadirannya. Aku gak sempat ketemu. Dia bahkan tidak sempat bertemu Abang.
Awalnya, Abang dan Thoriq yang berada di dua bed yang berbeda, ditangani di satu sekat dengan dua dokter residen orthopedi. Saat luka-luka lecet dibersihkan, mulailah dokter-dokter orthopedi bolak-balik datang, mengecek, bertanya bagaimana kejadiannya. Karena mereka harus memutuskan bagian mana yang perlu dirontgen. Karena Abang bilang sempat terguling, Abang dirontgen di bagian kepala, perut, tangan.

Karena perlu lebih leluasa penanganannya, Abang akhirnya dipindahkan ke ruangan IGD di belakang yang lebih lapang. Saat Abang sudah dipindahkan itulah, datang Zakkiy. Tadinya aku gak mengenali. Kami memang biasa berkomunikasi terkait pekerjaan di grup yang anggota grupnya dimana ada aku berarti ada Abang. Tapi aku gak mengenali sosoknya yang sekarang. Ruangan Abang tetap bertirai-tirai tapi sangat lapang. Karena dokter orthopedi bolak-balik, tirainya dibiarkan terbuka.
Mungkin dia tahu aku ga mengenali, supaya aku sadar dengan kehadirannya dia ngomong, “Mba, Zakkiy mba.” Kemudian dia menampakkan diri ke Abang tapi tidak mendekat karena tahu dokter masih mondar-mandir.
Tiap hari, Abang dan akh Zakkiy berkomunikasi masalah pekerjaan di chat. Malam ini, ketika akhir ketemu langsung, ternyata harus di kondisi yang sangat berbeda.
Kepolosan Thoriq
Ziyad datang membawa lauk untuk kami. Dia juga membawa pakaian dan barang lain yang aku minta dia untuk bawakan. Sampai Abang dipindahkan ke ruangan IGD bagian belakang, aku gak bisa dan gak sempat makan. Aku masih bolak-balik ke bagian administrasi. Alhamdulillah Thoriq dinyatakan bisa pulang sekitar pukul 10.30-an. Aku mendapat panggilan dari loket depan untuk membereskan administrasi.
Polosnya Thoriq itu, kadang-kadang dia melontarkan sesuatu yang harusnya itu jadi pembicaraan pribadi keluarga. Misalnya, ketika luka-lukanya sedang dibersihkan, dia sempat melontarkan ucapan terkait biaya rumah sakit. Apakah uang kami “aman”? Apakah cukup untuk biaya. Aku lupa kalimat yang dia ucapkan. Yang jelas aku langsung, “Ssh…udah, itu nanti (dibahasnya) insya Allah.”
Waktu aku dapat panggilan dari loket depan bagian administrasi, Thoriq ikut nemenin aku dan sibuk ngomong yang kesekian kalinya. “Pakai tabungan Thoriq aja, Mi.”
Tabungan yang dia maksud adalah tabungan uang sakunya. Selepas dari pondok, aku tetap memberi uang saku ke dia seperti dulu juga sebelum ke pondok. Bedanya, uang sakunya sudah dalam hitungan bulanan. Aku biasa kasih 150rb/bulan, yang artinya nilai uang sakunya 5rb/hari. Inilah juga uang saku dia dulu selain bekal makanan tambahan – selama di pondok. Insya Allah kapan-kapan aku bahas khusus tentang uang saku ini termasuk uang saku Ziyad. Selama dia di rumah, seringnya dia memilih hanya menggunakan 50rb. Sisanya dia tabung. Hanya beberapa kali dia menggunakan full uang sakunya. Dari tabungannya, ada yang sempat dia gunakan untuk beli sesuatu sekali dua kali.
Selesai membayar administrasi Thoriq, aku kembali ke dalam, ke bagian farmasi untuk mengambil obat. Di situlah aku mendengar teriakan Abang. Aku gak tau Abang lagi diapain. Tapi memang dari tadi dokter ortho bolak-balik. Kata Abang, Abang teriak beberapa kali. Karena dokter ortho butuh foto kondisi tangan Abang untuk dikonsulkan ke dokter sub spesialis. Abang juga teriak -karena kesakitan- ketika dirontgen karena tangan Abang butuh diposisikan dengan tepat supaya bisa tertangkap bagian yang diperlukan.
Aku sampai gak konsen pas mba di bagian farmasi menjelaskan. “Sebentar mba, saya rekam aja. Itu teriakan suami saya.” Pas aku lagi di situ, Ziyad menghampiri aku. Katanya, dia gak tega denger teriakan Abang.
Alhamdulillah setelah urusan administrasi Thoriq selesai, aku minta Ziyad dan Thoriq segera pulang. Berarti sudah menjelang pukul 11 malam. Ada adik-adiknya yang perlu dijaga.
“Hati-hati pulangnya. Kalian bertakwa.”
Bersambung insya Allah…
cizkah
20 Agustus 2025
Pagi 06.07 wib.