“Penghambaan terhadap gelar…”
Waktu dengar kalimat ini pertama kali, rasanya belum terlalu yakin bentuknya seperti apa. Tapi sepertinya dengan berbagai fenomena yang ada sekaarang, ini bisa dengan mudah ditemukan contohnya.
Kita mungkin cukup terheran-heran mendengar informasi bagaimana seorang yang tidak pernah menyelesaikan gelar s1 dan tidak pernah berkecimpung di dunia akademisi tiba-tiba mendapatkan gelar doktor honoris causa atau ada seorang yang bisa menyelesaikan program doktoralnya hanya dalam waktu 1 tahun 8 bulan. Kita yang mendenger dan menontonnya dari kejauhan mungkin sekedar menganggapnya sebagai berita layaknya berita lainnya. Sedikit menjadi bahasan kemudian berlalu sudah karena merasa itu gak berkaitan dengan kehidupan kita.
Tapi mungkin kita gak menyadari bahwa ada hal-hal yang lebih sederhana sebenarnya juga terjadi di sekitar kita. Bentuknya bahkan bisa jadi kita sendiri yang memberi “ruang” gelar itu.
Hmm…Gimana gimana?
Belum Bergelar
Gak usah jauh-jauh tentang yang bergelar. Ada yang bahkan belum ber”gelar” juga memanfaatkan sesuatu yang belum diraihnya dengan menempeli program studi yang sedang ditempuh.
“Mahasiswa Program Studi …. Universitas ….”
Pernah melihatnya?
Aku pernah. Beberapa kali. Aku gak inget tiap akunnya. Ada yang memang sudah mendapat follower banyak kemudian sering mengadakan kelas-kelas. Tiba-tiba saja, flyer di feed terakhirnya menyebutkan atribut “mahasiswa program studi….”. Aku bisa tahu bahwa ini adalah mahasiwa baru karena program ini baru saja dibuka di sebuah universitas online. Jadi, kemugkinan besar ini adalah mahasiswa semester 1.
Aku bayangkan kalau aku dulu kuliah S1, kemudian membuka sebuah “kelas sharing” padahal baru menempuh semester 1 atau semester 2 dari perkuliahan. Ya Allah. Apakah aku sudah sejago yang diharapkan dari menempeli informasi tentang program studi yang sedang aku tempuh? Rasanya aku gak bakalan tau apa yang bakal aku omongin dan bakal beda informasi yang akan aku bagikan jika sudah menyelesaikan kuliahku. Kalaupun sudah lulus s1, apakah itu jadi ukuran keprofesionalan dan kedalaman ilmuku?
Tapi zaman sekarang, yang kaya gini jadi lumrah. Yang kemudian “pemirsa” pun juga ada yang terkagum-kagum -sesuai yang diharapkan ketika ada tempelan info tersebut- dan merasa ini adalah ukuran “layak”nya dia mengikuti kelas tersebut.
Di Beri Gelar
Ada lagi yang juga cukup mengkhawatirkan. Gelar ini bukan karena menempuh studi bertahun-tahun dengan berkepayahan. Gelar ini tapi sangat menjebak dan bisa membuat orang yang diberi gelar melambung dan punya kedudukan. Gelar ini bukan diberi oleh institusi pendidikan. Gelar ini bahkan gak ditanya-tanya lagi asal muasalnya. Bisa jadi yang memberikan adalah akun yang mengadakan kelas-kelas pembelajaran online dan mengundang person tersebut. Yang mengherankan, gelar ini tetap “diterima” oleh orang yang mungkin sebenarnya akan lebih baik tidak menerimanya dengan menyadari kapasistas ilmunya.
Aku persempit di sini untuk ranah perempuan karena yang di sekitarku adalah perempuan.
Gelar ini adalah gelar “ustadzah”.
Kalau ada orang yang mempertanyakan gelar “doktor” yang ditempuh dalam waktu 1 tahun 8 bulan, kenapa tidak ada yang mempertanyakan ketika ada yang diberi gelar “ustadzah” yang kemudian diartikan ia memiliki ilmu agama mumpuni?
Ini sungguh mengkhawatirkan.
Kalau kita mendalami sebuah ilmu, biasanya yang terjadi adalah kesadaran bahwa ilmu kita tuh masih sangat sedikit sehingga kita makin berhati-hati. Berhati-hati bersikap, berhati-hati bicara, berhati-hati jangan sampai dianggap jago. Karena benar-bener kalau udah mulai belajar itu sebenarnya rasa yang muncul tuh sebenarnya, “Aduh aku masih banyak gak taunya.” Istilah untuk yang seperti ini adalah Imposter Syndrome.
Tapi…sebaliknya, ada yang namanya Dunning-Kruger Effect. Dunning-Kruger Effect adalah fenomena di mana orang dengan kemampuan atau pengetahuan rendah dalam suatu bidang cenderung melebih-lebihkan kemampuan mereka. Salah satu implikasi dari Dunning-Kruger Effect ini adalah si dia ini udah merasa jago, akhirnya dia jadi minim untuk belajar lebih dalam dan intensif. Karena dia merasa sudah memiliki kemampuan inilah yang implikasi lainnya adalah dia menjadi over percaya diri. Pada akhirnya berani tampil dan kalau bisa dengan “gelar” supaya bisa lebih mantap menjalankan perannya.
Sebenarnya ini hal yang memang terus diingatkan untuk seorang penuntut ilmu, sebagaimana disebutkan syaikh Bakr bin Abdullah di kitabnya HIlyah Tholibil ‘Ilmi.
من تصدّرَ قَبْلَ أَوانهِ فقد تصدَّى لِهوانِهِ
“Siapa yang memaksakan diri tampil sebelum waktunya, berarti telah menjerumuskan diri kepada kehinaan.” (Hilyah Tholibil ‘Ilm, Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid)
Yang terjadi kemudian memang yang justru mengkhawatirkan. Karena merasa sudah di “ustadz” atau “ustadzah”kan, akhirnya gak sadar kalau sebenarnya pengetahuannya masih terbatas.
Belajar agama dengan mengikuti kajian-kajian yang dilalui ketika masa kuliah dianggap jadi landasan kuat untuk punya ilmu atau dianggap berilmu. Padahal -aku yang juga melaluinya bisa tahu- belajar agamanya ini adalah selingan di antara kegiatan kuliah. Bisa baca kitab? Oh..bisa baca kitab itupun terbata-bata. Kalaupun sudah lumayan lancar, kalau belum belajar bahasa Arab benar-benar bertahap, maka bisa jadi sebenarnya pemahamannya salah karena penerjemahan yang salah.
Ada kejadian nyata, seorang yang sudah diustadzkan ketika tulisannya melewati editorial Abang ternyata banyak sekali salah penerjemahan. Bahkan akh Zakkiy juga bisa ikut mengoreksi hasil penerjemahan tersebut. Akh Zakkiy telah selesai melalui proses kuliah bahasa Arab di Ma’had Ali. Jadi memang benar-benar mempelajari bahasa Arab secara teori dan praktek. Sungguh belajar otodidak itu sangat beda dan tentu saja hasilnya bisa berbahaya terutama sesuatu yang terkait agama.
Di Yufid sendiri ada 3 tim penerjemah yang tidak dimunculkan namanya. Tim penerjemah ini memang punya latar belakang belajar bahasa Arab secara intensif. Satu orang bahkan sedang menempuh s2. Satu orang lagi juga punya gelar s1 di bahasa Inggris dan s1 di bidang agama. Dari penerjemahan mereka, baik di video ataupun kitab, nantinya akan melalui editorial Abang yang memeriksa hasil penerjemahan mereka. Ini bukan berarti Abang yang paling jago. Bahkan sering terjadi diskusi di antara mereka. Ini lebih seperti laiknya seorang penulis juga punya editor untuk tulisannya. Bukan berarti si editor bisa menulis seperti yang dilakukan penulis. Tapi editor punya sense dan pengetahuan lain terkait hasil.
Yufid memang sekarang lebih memilih produksi hasil konten tanpa mengangkat “nama” sosok tertentu. Menghindari hal-hal yang terjadi sebelum-sebelumnya. Sulit mendapatkan orang yang komitmen membantu di dunia dakwah secara kontinue dan tidak menampakkan diri. Yang terjadi kalau menampakkan diri, akhirnya kalau sudah terangkat namanya, diundang sana sini, Yufid bisa dengan mudah dilupakan.
‘Ala kulli haal, semoga Allah menjaga diri kita terutama dari fitnah popularitas dan harta.
العلم ثلاثة أشبارٍ منْ دَخلَ في الشِّبْرِ الأوَّلِ تَكَبَّر
وَمن دخل في الشِبر الثاني تواضَعَ
ومن دخلَ في الشِبْرِ الثالِثِ عَلِمَ أنَّه ما يعلم
“Ilmu itu memiliki tiga jengkal. Siapa memasuki jengka pertama niscaya dia akan sombong. Siapa yang memasuki jengkal kedua ia akan menjadi rendah hati. Siapa yang memasuki jengkal ketiga, niscaya mengetahui bahwa ia tidak tahu apa-apa.” (Hilyah Tholibil ‘Ilmi)
cizkah
21 November 2024
Cuma tulisan seorang cizkah yang juga masih perlu banyak belajar. Cuma gemes aja sama fenomena yang terjadi di social media yang emang segala tolak ukurnya beda. Sebenarnya bukan masalah di sharing atau kelasnya. Fokus aku lebih ke gelar-gelar atau embel-embel yang sebenarnya gak perlu dilekatkan, yang sebenarnya mungkin dicantumkan untuk menguatkan “posisi” sebagai pembicara. Sebenarnya lucunya ini terjadi malah di dunia dakwah ya. Kalau orang yang memang “berisi” justru cuma cantumin aja “Founder ABC Community”, “Penulis Trilogi” “Duta Baca…”
Tulisan mengeluarkan uneg-uneg.