Masih inget tulisan aku kemarin waktu aku berpikir dan mempertanyakan, “Buat apa pakai cadar?” setelah hampir 20 tahun pakai cadar.
Di tulisan itu, Abang menjawab dengan, “Untuk dapat pahala” dan “Harus perbaharui niat setiap saat.”
Beberapa hari yang lalu, aku dapat jawaban yang lebih memantapkanku sekaligus bikin aku nangis banget. Hatiku rasanya bergetar sangat keras menahan campuran rasa yang muncul.
Kehidupan di Dunia Nyata
Aku mungkin terlihat cukup ceria di story-story atau cerita di feed instagram. Kenyataannya memang biasanya aku berbagi ketika hatiku sedang baik-baik saja insya Allah.
Momen banyak nangisnya, sedihnya, merenungnya tetap ada di dunia nyata. Ada beberapa yang aku ceritakan di sini, di blog ini. Karena aku menganggap blog ini seperti rumah dimana aku bisa bercerita, tanpa harus khawatir atau merasa ditonton oleh semua orang insya Allah. Karena gak semua orang mau baca tulisan panjang tanpa gambar apapun. Gak semua orang mau baca, cerita yang mungkin terlihat sepele tapi sebenarnya penting bagi aku.
Salah Satu Kesedihan
Bulan Juli kemarin, sebenarnya aku sering sekali menangis dengan sebab yang berbeda. Ada yang sudah aku tuangkan dalam tulisan. Tapi karena terlalu tumpah perasaan dan aku merasa belum ada pelajaran yang bisa diambil, tulisan itu hanya jadi draft.
Beberapa hari yang lalu, fisik aku yang sangat letih karena hari-hari ujian final kuliah, rasanya jadi bertambah lelah karena mendapat ujian dari Luma anak gadis tersayang. Banyak hal yang belum aku ceritakan tentang dia, karena masih banyak hal yang aku sendiri berusaha menemukan jawabannya.
Di kamar yang sudah kami matikan lampunya, aku dan Abang untuk kesekian kalinya berdiskusi tentang anak-anak. Kali ini tentang Luma. Dia anak baik, anak shalihah. Sekali lagi, karena “perempuan”nya dengan karakternya yang unik, malam itu rasanya kembali bikin “berat” pikiran aku.
“Banyak didoakan.” Abang kembali mengingatkan bagaimana doa Fudhail bin Iyadh ke anaknya.
اللَّهُمَّ إِنِّيْ اجْتَهَدْتُ أَنْ أُؤَدِّبَ عَلِيًّا
فَلَمْ أَقْدِرْ عَلَى تَأْدِيْبِهِ فَأَدِّبْهُ أَنْتَ لِي
Ya Allah, sesungguhnya aku telah berupaya mendidik Ali namun aku tak mampu mendidiknya, karena itu didiklah dia karena Engkau lah yang berkemampuan atasku.
Abang kembali mengingatkan bahwa Luma itu anak yang baik kemudian menyebutkan berbagai kebaikannya. Kalau dibandingkan dengan anak-anak perempuan lainnya yang terlihat di lingkungan sekitar dengan segala pergaulannya, harus banyak bersyukur.
Jawaban Sebenarnya
Sambil tiduran di kamar yang sudah gelap itu, kami masih berdiskusi. Abang melanjutkan mengingatkan aku selain doa, usaha yang kita lakukan adalah kita berusaha menjadi orang tua yang sholih. Kemudian Abang mengulang cerita yang sebenarnya aku sudah tahu dan bahkan pernah aku bagikan foto sumbernya dari buku Al-Azhar Pedoman Praktis Menerjemah Bahasa Arab.
Di sini aku masukkan teks dari perkataan Dr. Nabil ‘Iwadhi yang ada di buku itu yang diterjemahkan oleh Muhammad Azhar rohimahullah:
Ketika diriku bermalas malasan menjalankan ibadah sunnah, aku berusaha mengingat semua anakku dan segala musibah dunia. Aku merenungi kalam-Nya “Dan ayah keduanya (dua anak yatim itu) adalah orang yang shalih.” (Al Kahfi (18):82).
Dengan begitu, aku kembali berusaha untuk menyayangi mereka, dan kembali beribadah dengan giat.
Inti kesimpulannya, proyek keberhasilanmu yang sebenarnya adalah tentang anakmu. Dan untuk keberhasilan proyek ini, ikutilah saran sahabat agung Abdullah bin Mas’ud. la shalat malam dan anak kecilnya disampingnya, la pun menatapnya seraya berujar ‘Beginilah semestinya demi keshalihan anak-anakku’ (maksudnya menjadi sumber keteladanan anaknya).
Jika ayah sudah menjadi sumber keteladan anaknya, hubungannya kepada Allah sedemikian kuat, Allah pun bakalan menjaga semua anaknya, bahkan menjaga semua cucunya. Contoh keteladanan Rabbani ini, persis sebagaimana tertera dalam kisah surat Al Kahfi. Allah menjaga harta karun kedua anak yatim itu karena keshalihan kakeknya yang ke tujuh.
Saat membicarakan ini, saya teringat sebuah kejadian: Suatu waktu saya bersama kawanku yang saya segani. Kawanku ini mempunyai jabatan tinggi di Kuwait, bekerja di beberapa Instansi Negara. Namun ia berusaha menyempatkan waktunya beberapa jam tiap hari untuk aktivitas sosial.
Suatu hari aku sampaikan padanya:
“Mengapa engkau tidak konsentrasi terhadap pekerjaan dinasmu padahal engkau mempunyai jabatan tinggi?”
la segera menatapku dan berujar, “Akan saya ceritakan padamu sebuah rahasia diriku. Saya mempunyai enam anak. Kebanyakan laki-laki. Saya shawatir mereka melakukan penyimpangan, dan saya kurang bisa mendidik mereka dengan baik. Namun diantara nikmat Allah padaku, setiap kali aku meluangkan waktu lebih banyak untuk Allah, justru anakku semakin bertambah shalih.
Saya memilihmu untuk menyampaikan rahasia ini sebab aku senang jika dirimu peroleh senang seperti diriku. Semoga Allah menjadikanmu bahagia di dunia dan akhirat. Menjadikanmu, kedua orangtuamu, dan siapapun yang engkau cintai dibebaskan-Nya dari neraka.
Ya Allah, kuniatkan tulisan ini sebagai sedekah bagi anakku. Jagalah mereka dari penyelewengan dan semua kejahatan. Tolong kirim ulang kisah ini kepada orang-orang yang kalian cintai dengan niat sedekah untuk anak kalian.
— dari buku Al Azhar Pedoman Praktis Menerjemah Arab Indonesia
Waktu aku dengar Abang mengingatkan kisah ini, rasanya ada sudut di ulu hatiku yang terasa sakit dan langsung bikin aku tambah nangis. Semakin aku sedih sendiri mengingat kemarin aku mempertanyakan tentang kenapa aku pakai cadar dan aku merasa, alasan ini -berusaha menjadi orang tua yang sholih- adalah jawaban yang lebih kuat lagi.
Abang gak tau aku semakin menangis karena memikirkan ini. Yang Abang tahu, aku emang lagi sedih. Makanya Abang kasih kalimat-kalimat yang menghibur dan menguatkan. Kalimat yang menguatkan tapi bikin aku jadi menangisi diri sendiri.
Ketaatan yang kita lakuin, kita ga tahu yang mana yang menjadi sebab kita terus dekat dengan kebaikan. Memakai cadar adalah salah satu ketaatan yang alhamdulillah selama ini Allah mudahkan untuk jalankan. Ini pun -seperti ibadah lainnya- di awal juga penuh perjuangan. Kenapa kemudian ketika Allah telah mudahkan, harus dipertanyakan lagi alasan ibadah ini. Saat menulis ini, aku teringat kisah seorang sahabat yang biasanya sholat malam kemudian dia mulai meninggalkan kebiasaan ini. Sampai Rasulullah ﷺ mengingatkan tentang ini kepada Abdullah bin ‘Amr rodhiallahu ‘anhu:
يَا عَبْدَ اللَّهِ لَا تَكُنْ مِثْلَ فُلَانٍ كَانَ يَقُومُ مِنَ اللَّيْلِ فَتَرَكَ قيام اللَّيْل
“Wahai Abdullah, jangan seperti Fulan, dulu dia biasa sholat malam kemudian meninggalkannya.” (Mutaffaqun ‘alaih)
Abang sering bilang, “Taufik..taufik…” Meniru gaya seorang ulama yang menjelaskan bahwa kita sangat butuh taufik. Maksudnya hidayah taufik, dan kita mesti terus berdoa meminta ini.
اللهم إني أسألك الهدى والتقى والعفاف والغنى
Allahumma inni as alukal huda…wat tuqo…wal afaaf wal ghinaa. Ya Allah sungguh aku memohon kepadamu petunjuk, ketakwaan, kesucian dan kecukupan diri. (HR. Muslim)
Jogja, 9 Agustus 2024
Cizkah
Update:
Ternyata aku mendapat: Jawaban Sebenarnya
Assalamualaikum mba siska..
Sekian lama menjadi silent reader.. Terimakasih masih menulis..
Saya suka membaca blog mba sebagai motivasi saya.. Walaupun hidup saya jauh dari istri/ibu/muslimah yg taat.. Saya berharap mendapat pengaruh positif dari sharing2 mba siska..
wa’alaikumussalam warohmatullah
makasi juga sudah membaca tulisan2 di sini
barokallahu fiik ❤❤❤