Baru-baru ini, ada satu kejadian yang cukup menghentakkan hati.
Waktu itu, aku post foto Luma yang sedang membantu mengolah sayuran.
Sedari kecil, Luma aku biasakan memakai celana dalaman. Walaupun dia pakai rok panjang. Yang pembiasaan ini pun aku tuangkan dalam desain-desain poster lumalumi.
Celana dalaman yang berbahan katun, cenderung mudah robek karena posisi duduk dan aktivitas yang bermacam-macam. Bukannya gak dijahit. Sudah dijahit berkali-kali tetap sama karena memang dasar bahannya seperti itu.
Tampaklah di foto tersebut, celana Luma yang bolong. Alhamduilllah, aurat Luma gak kelihatan.
Yang mengejutkan, ada yang dm dan memberi pesan dengan diakhiri tiga tanda seru. Memberitahu atau sekaligus perintah supaya celananya disensor.
Waktu itu aku jawab jazakillahu khayron. Sekaligus menyatakan “kekagetan” aku karena kalimat yang dia nyatakan pakai tanda seru.
“Oh iya..hehe.. jazakillahu khayron..kaget pakai tanda seru”
Sebenarnya, kalimat ini sekaligus supaya bisa dijadikan untuk berpikir. Tapi ternyata jawaban berikutnya hanya berupa cengiran,
“:D”
Nas-alullahal ‘afiyah.
Ya Allah berikanlah aku dan Abang, serta anak-anakku dan keturunanku akhlak dan adab yang baik.
Kejadian tersebut, jadi mengingatkan aku satu bagian di buku Lathoif. Judul bagian itu adalah “Adab”.
Isinya,
إِذَا شَعَرْتَ أَنَّكَ قَلِيلُ اْلأَدَبِ
فَأَنْتَ مُؤَدِّبٌ لِأَنَّ قَلِيلِى اْلأَدَبِ لَا يَشْعُرُونَ
“Jika engkau merasa kurang sopan, berarti kamu sopan. Sebab orang-orang yang tak punya sopan, tak merasa dirinya tak sopan.” (Lathoif, hal 162)
Yang Baik Insya Allah
Aku juga jadi ingat satu kejadian akhlak yang baik dari seseorang saat mengingatkan. Waktu itu, aku sudah posting tentang perjalanan Ziyad menghafal Al-Qur’an.
Setelah dua hari-an, ada yang memberi pesan, memberi tahu dengan sangat sopan sekali masya Allah, bahwa sepertinya ada yang perlu diedit di video tersebut. Sudah dengan sopan memberitahu, dia pun masih merasa gak enak banget memberitahu aku dan minta maaf. Padahal gak ada yang perlu dimintamaafkan.
Ketika aku perlihatkan pesan tersebut ke Abang, bahkan Abang sampai juga memuji bahwa caranya bagus masya Allah.
Alhamdulillah, video tersebut akhirnya aku edit dan publish ulang.
Sepantaran
Salah satu yang jadi masalah di era sekarang, orang menganggap semua yang ditemui (apalagi di social media) sepantaran dengannya atau bahkan lebih rendah darinya.
Bayangkan orang zaman dulu. Semisal ketemu ibu-ibu, gak mungkin ngomong gak sopan apalagi dengan nada keras dan kalimat yang kurang sopan.
Waktu Ziyad lagi libur semester kemarin, ibu dari anak susuanku, Bu Erlina, menghubungi aku untuk membicarakan masalah mencari jodoh untuk anak pertamanya. Ziyad terheran-heran karena aku memanggil dengan panggilan “Bu.” Mungkin menurut dia, bedanya gak terlalu jauh, jadi aku bisa memanggil “Mba”.
Waktu aku menyusui Sofia, usiaku 30 tahun dan bu Erlina 40 tahun. Kami kenalan online, dan sejak awal, aku sudah memposisikan beliau sebagai orang yang dihormati. Ini cuma contoh aja.
Ini beda usianya 10 tahun.
Makanya, waktu sepupu Abang yang bedanya 17 tahun dengan aku, kerja di rumah, ada hal-hal terkait adab yang perlu diajarkan. Yang ini ternyata gak mudah.
Terutama lagi karena perawakan aku yang mungkin “gak terlalu ibu-ibu”.
Aku sampai harus menyampaikan, “Coba H, bayangin kalau ketemu sama ibunya Fulan (temannya Ziyad yang dia udah pernah lihat). Pasti sikap H akan beda kan. Karena tahu beliau sudah berumur.”
Atau juga sikap ke Abang yang perawakannya “gak terlalu bapak-bapak”. Biar paham sampai aku harus analogikan juga dengan sosok lain yang bisa dia bayangkan.
“Coba kalau lagi nengok N (adiknya). Ada sandal ustadz J di luar rumah. Pantas gak kalau kalian pakai? Gak bilang-bilang lagi.”
Yang ketemu langsung aja bisa bersikap kurang sesuai adab, apalagi di dunia maya yang ngetik tinggal ngetik. Semua dianggap sepantaran atau bahkan lebih rendah darinya.
Kata “tolong” sering diajarkan orang tua, tapi seringkali aku dapati orang dewasa pun melupakan kata ini.
Pernah ada orang yang mengambil poster untuk dijual, bolak-balik bikin janji mau ambil posternya. Pada akhirnya, dia ga bisa memastikan jam untuk ngambil dan melontarkan kalimat, “Nanti taruh di depan aja ya mba!”
Catatan Buatku
Akan lebih baik kalau dari awal, kita sudah menjaga adab tutur kata, walau dengan yang sepantaran sekalipun.
Pun jangan bersikap sekedar karena melihat fisiknya atau “kesan” yang tampak di benak kita (karena hanya menangkap dari kesan di dunia maya).
Kurangi pakai kata-kata yang menunjukkan kekurangsopanan. Ini berlaku umum ke semua orang. Ke penjual dagangan, ke tukang parkir, penjahit permak dekat rumah, ke anak-anak muda di sekitar kita.
Salah satu sikap yang perlu ditanamkan untuk bisa beradab dan berakhlak baik adalah sikap rendah hati. Dengan rendah hati, kita berinteraksi dengan hati-hati. Ngga menganggap orang lain menjadi lebih rendah atau sosok yang gpp kalau diremehkan.
Semoga Allah memberikan kita akhlak dan adab yang mulia.
.
Cizkah
Jogja 1 Januari 2023