Sedih
Gak tau apa karena aku terlalu capek jadi kesedihan itu jadi semakin menggugu, atau karena aku yang terlalu sedih kemudian jadi berasa capek dengan semuanya.
Terus akhirnya pikiran kemana-mana, dan perenungan jadi kemana-mana terus ternyata muncul kesadaran akan masalah lain yaitu aku khawatir…
Malam ini banyak perenungan.
Abis periksa kehamilan minggu ke 24 lewat 5 hari.
Aku berusaha menahan diri dari semua keluh kesah yang mungkin bisa aku lontarkan kepada Abang. Aku juga berusaha menahan diri dari melampiaskan masalahku dalam bentuk kemarahan kepada anak-anak.
So I just laying down on my bed. Berusaha gak terlalu banyak bicara dan atau banyak perintah (permintaan) ke anak-anak.
Memainkan hp (bukan bercakap-cakap dengan siapapun), mengira bisa mendapat penghiburan dari sana atau sekedar mengalihkan pikiranku. Tapi toh akhirnya aku tetap menangis. Aku pikir aku perlu meluapkan perasaan sedihku.,,jadi biarkanlah aku menangis. Jadi aku menangis sendirian di kamar.
Tapi akhirnya Abang tahu juga ketika beliau masuk kamar. Beliau kira aku sudah tidur cepat sebagaimana hari-hari kemarin. Menanyakan masalahku. Kenapa menangis?
Tapi aku gak ingin membahas detail tentang kenapa-nya itu di sini. Entah kenapa aku ingin menuliskan hal lain. Entah kenapa kesedihan ini juga membawa pada perenungan hal lain. Dan hal itu yang lebih aku ingin tuliskan di sini.
Khawatir
Sebenarnya dari kemarin aku khawatir. Aku takut, kalau lama-kelamaan postinganku ini berbau kesombongan atau ujub. Terkesan sok pinter atau keminter. Apalagi kalau membahas tentang parenting. Padahal aku bukan pakar parenting. Bukan ibu sempurna. Bahkan dalam kehidupan asli, tentu saja aku masih suka merasa bersalah kepada anak-anak atas sikap salahku. Masih suka menghentikan bacaan buku parenting karena merasa ternyata aku telah banyak melakukan kesalahan sikap sehingga merasa membaca buku tsb serasa terbeberkan dosa-dosaku.
Terus, malam ini di sela-sela aku mencari pengalihan kesedihanku, aku menemukan tulisan-tulisan orang lain yang entah kenapa aku merasa ada kesan “tinggi” di situ. Terkesan dia itu hebat sudah bisa begini dan begitu. Sudah melalui ini dan itu. Yang akhirnya menganggap orang lain yang tidak melakukan hal yang sama dengan dia itu salah atau kurang tepat. Dan aku semakin khawatir tentang kekhawatiranku kemarin-kemarin.
Maka..mohon maaf, kalau ada yang menangkap kesan itu dari tulisanku. Sungguh aku bukan sosok sempurna, bukan pakar parenting, bukan yang paling ahli.
Maksud tulisan-tulisanku lebih ke berbagi apa yang aku kerjakan bersama anak-anak. Makanya di tulisan terakhir aku tulis kalimat penutup yang sebenarnya sudah menunjukkan kekhawatiranku ini.
Kadang tulisanku juga merupakan jawaban dari beberapa pertanyaan yang kadang masuk dari beberapa orang yang berbeda. Dan aku sengaja tulis di sini untuk memudahkan jika ada yang bertanya lagi hal yang sama. Tapi jawabanku itu, belum tentu yang paling benar.
Dan mungkin itulah yang sebenarnya juga terjadi pada orang yang tulisannya membuat aku merenung tentang hal ini. Sebenarnya dia juga gak bermaksud ujub..sebenarnya dia ingin memotivasi…berbagi dst.
Akhlak dan Parenting
Karena kesedihanku malam ini juga terkait dengan sikap orang lain dan mungkin juga sebenarnya karena sikapku sendiri, ada hal lain yang membuat aku sadar.
Sepertinya, hal berkaitan dengan anak-anak ini sebenarnya adalah pelajaran akhlak. Makanya mempelajari parenting ini jadi begitu menarik dan penting. Apalagi kalau memang kemudian di bahasan parenting ini sebenarnya ada hadits (yang kadang mungkin kita gak nangkep itu bisa dijadikan landasan untuk jadi orang tua yang berakhlak baik kepada anak-anak) yang melandasinya.
Ini seperti pelajaran akhlak bolak-balik.
Entah kenapa ketika aku merasa sedih, sakit atau marah, aku jadi bercermin dan merenungi apakah aku — sebenarnya– pernah melakukan hal yang sama ke anak-anak.
Ketika aku sedih aku mengharapkan disikapi seperti ini dan itu…apakah ketika anak-anak sedih aku telah bersikap sebagaimana yang aku harapkan dari orang lain?
Kalau akhlak suami bisa ditanya dari istri.
Kalah akhlak ibu? Apakah dari anak-anak?
Kalau ketika kita orang dewasa kecewa kepada orang lain mungkin bisa melontarkan terus terang hal yang mengganjal kepada orang tersebut atau menceritakan kekesalan kita pada orang lain….
Sayangnya..sepertinya kalau anak-anak gak bisa seperti itu. Mereka biasanya memendapnya dalam hati mereka.
Makanya gimana caranya aku berusaha bisa ngertiin mereka, berempati kepada mereka. Pas sedih, pas marah, pas senang. Gimana sikap terbaik ke mereka. Itu aku ngerasanya bisa ngedapetinnya dari gabungan bekal yang telah dibaca di buku parenting sama apa yang aku alami sendiri. Tapi dipikir-pikir, memang seperti itukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bilang di hadits yang intinya “Barangsiapa…maka ia mencintai saudaranya…”
Jangankan saudaranya…ini anak sendiri..yang pasti kita cintai..mestinya kita juga memperlakukan mereka sebagaimana kita juga pingin diperlakukan.
Terus ini jadi tulisannya sebenarnya bahas tentang apa aja yah..
Maaf kalau tulisan kali ini gak jelas arahnya ke mana.
Sepertinya aku perlu istirahat. Semoga Allah memberikan kita akhlak yang baik, dijauhkan dari sikap ujub dan sombong. Aamiin.
Jogja dini hari, 28 Juli 2016
Huhuhu abis baca ini lgs kpikiran juga “jgn2 ada nada tinggi ditulisanku”. Jd melow juga soal parenting. It is really a hardwork to do ya mba cizzzz huhuhu. Sehat2 bumil jgn sedih2 terus nanti babies diperut ikut sedih. Insya Allah saling mengingatkan yah mba cizzz baik dengan tulisan mu diblog ? don’t stop writing yaah i love to read your writing hihihi keep inspiring yg tentunya dgn izin Allaah. Barokalloohu fiikum mba ciz sekeluarga. Moga Allah lindungi kalian selalu. Hehehe
@liyaa…jazakillahu khayron ya….wa fiikum barokallahu ya liyaa…semoga Allah memudahkan urusan Liya juga.
Iya nih, mungkin karena hormon juga jadi gampang sediih heheh..