Bias Kehidupan Dunia Maya

Hampir dua pekan gak muncul di instagram. Banyak hal yang jadi penyebab. Mungkin karena akumulasi dari banyak hal ini, bikin aku sampai di titik kehilangan keinginan dan kekuatan untuk memposting atau membahas apapun di sana. Ada momen-momen aku mau posting, tapi selalu urung, mikir dan akhirnya gak jadi.

Kejadian Palestina di dua pekan ini rasanya cukup intensif menampakkan kepedihan-kepedihan yang masih gak berhenti. Walau…sebenarnya kita bukan gak berdaya sama sekali. Kita bisa berdoa dan yakin dengan ketetapan Allah yang terbaik. Berita politik yang bikin perasaan cukup gak enak, tapi ya sudah, doakan saja dan bersabar. Langsung ingat ulama yang hidup di masa-masa pemimpin yang ujiannya sangat berat. Sabar…insya Allah akan ada masanya nanti keadaan berbalik.

Faktor yang cukup bikin jadi di titik yang melemahkan adalah kesimpulan bahwa betapa kehidupan di social media ini seperti punya tolok ukur sendiri yang berbeda dengan dunia nyata. Gak tau orang sadar apa engga tapi ini jadi satu fenomena yang umum.

Orang senang melihat kehidupan yang terlihat luar biasa, hebat dan sempurna dan juga suka melihat kehidupan yang santai, seru, liburan kemana-mana. Padahal hidup gak semudah dan seindah yang tampak di social media itu.

Orang menikmati dan mewajarkan sajian dari keluarga yang menjadikan “berbohong” sebagai sebuah bercandaan. Apa aku yang terlalu serius dan menganggap ini sudah masuk ke ranah sesuatu yang harusnya bukan dijadikan bercandaan? Tapi kenapa orang-orang menganggap ini lucu, wajar dan sebuah “usil” yang menggemaskan? Bagaimana serapan dari anak yang melihat orang tuanya iseng dengan bohong?

Yang di atas ini cuma dua contoh aja dari banyak hal. Mungkin bisa dimaklumi karena pada umumnya begitulah memang dunia yang dunawi. Tapi yang paling bikin kecewa sepertinya yang satu ini:

Orang bisa dianggap berilmu dengan mudahnya dan orang merasa senang karena dianggap sebagai sosok berilmu. Paradoks.

Aku jadi merasa tiba-tiba mengkerut. Seperti bola yang kena paku-paku yang sangat banyak. Jadi gak berdaya.

Sudah pikiran babak belur melihat “realita” kehidupan dunia maya, ternyata badan dan pikiran juga babak belur menghadapi realita di kehidupan nyata. Rumah yang berantakan. Anak-anak yang proses belajarnya “biasa-biasa’ saja. Aktivitas yang begitu saja. Orang-orang di dunia nyata yang nyata-nyata bisa berbuat baik ataupun jahat ke kita. Aslinya, kehidupan manusia kan ya seperti ini ya. Bekerja, rutinitas, ujian-ujian kehidupan.

Makanya aku perlu menata hati dan diri lagi. Mengingat lagi sebenarnya apa yang aku lakukan di sana di dunia maya dan di sini di dunia nyata. Fokus kembali ke diri dan keluarga. Karena menata itulah kemudian aku dihadapkan dengan hal-hal lain yang sampai sekarangpun masih perlu diperbaiki setiap hari. Makanya aku mau catat-catat di sini insya Allah.

Waktu pertama kali aku menceritakan kegelisahanku ini, Abang udah bilang, “Dek, mau kaya gimana juga bakal ada terus yang kaya gitu.”

Salah satu yang jadi pengingatku, tulisan aku sendiri yang sebenarnya biasanya memang ditulis untuk bahan refleksi dan renungan.

menata hati

Aku juga kembali lagi mengingat satu pesan tentang bunga mekar itu gak berkompetisi bunga-bunga lainnya. It just blooms.

it's just blooms

Aku juga ingat salah satu pengingat dari Abang ketika aku curhat hal semisal ini. Abang bilang, “Dek, seorang pelari yang menengok melihat pelari lainnya akan memperlambat larinya dia sendiri. Jadi, fokus aja ke depan gak usah banyak nengok.”

gak usah nengok-nengok

Jadi…kita mulai lagi pelan-pelan. Bismillah. Semoga Allah mudahkan.

cizkah
Jogja, 25 Oktober 2024
21.00

Buku Menata Hati
Buku Menata Hati [versi cetak]
E-Book Menata Hati di Play Books

Leave a Reply