Tiarap

Bukankah dalam hidup kita harus terus muhasabah.

Supaya kita bisa mengoreksi diri, memperbaiki diri dan kemudian berusaha menuju sesuatu yang lebih baik lagi.

Walau belum paham banget dan ngikutin apa yang Abang lakuin berkaitan sama kajian-kajian syaikh, alhamdulillah sedikit-sedikit aku kecipratan harumnya.

Yang hasil dari kecipratan itu, seringkali membuat aku merenung.

Misalnya, lagi bahas qori matannya syaikh ini dan itu. Ini mau nulis ini aja aku mesti nanya Abang dulu kalau mau contoh tepatnya. Khawatir salah sebut nama.

Qori dari masyayikh itu bukan sembarangan orang. Yang biasanya udah doktor, bukan penuntut ilmu pemula baru belajar setahun dua tahun.

Yang kemudian bikin aku mikir, orang-orang yang sangat berilmu itu, tetap sibuk menuntut ilmu.

Kadang sangat kontras dengan kondisi di sini. Apalagi kalau urusannya sama social media. Yang kemudian jadi harus ada visualisasi keilmuan supaya terlihat, baik dengan tulisan atau foto.

Membranding diri. Menunjukkan diri dengan kesempurnaan dan kebijakan diri.

Yang kemudian mari balikin ke diri aku sendiri aja dan bikin aku mikir.

Apakah aku melakukan hal itu?
Apakah aku mengesankan hal itu di social media?

Apakah aku membranding diri aku?

Na’udzu billah min dzalik. Beneran, rasanya pingin menghilang aja dari dunia per-socialmedia-an. Bukankah talbis iblis itu berhembus dengan lembut dan perlahan.

Tiarap, adalah kata yang sudah beberapa kali Abang lontarkan.

Ketika diskusi lagi tentang ini, Abang ingatkan lagi aku tentang tiarap ini. Kembali fokus dengan berbagai hal.

Aku bilang ke Abang, bahwa makanya aku sering bilang kalau keluarga kita ga sempurna. Aku juga menyelipkan sisi-sisi ketidaksempurnaan aku. Supaya orang ga over expectation.

Kemudian terselip sebuah curahan dari aku ke Abang tentang pertemanan. Itu adalah salah satu alasan aku kenapa aku masih tetap ada di sana.

Yang mungkin akan aku bahas di tulisan lainnya insya Allah.

cizkah
Jogja 21 Oktober 2022

Leave a Reply