Cerita Kuliah Bahasa Arab

Mulai dari mana ya cerita ini. Karena udah satu setengah tahun berlalu dan kemarin-kemarin memang aku ngerasa belum waktunya untuk cerita tentang ini, jadinya sekarang sebenarnya udah bertumpuk ceritanya :).

Kita pelan-pelan aja bahasnya ya.

Pertama-tama, yang paling penting kenapa gak aku share tentang ini dari awal kuliah karena buat ngejalanin ini bukan perkara yang mudah. Yang paling dikhawatirkan adalah kalau kemudian ngejalaninnya malah lebih karena pressure udah gembar-gembor di awal. Atau sebaliknya, muncul perasaan udah “puas” diri karena ngehsare. Puas yang semu.

Padahal ngejalanin ini –kenyataannya– SANGAT butuh perjuangan.

Kedua, aku juga khawatir nantinya –seperti kebanyakan hal yang dipandang di social media– aku dianggap jago atau sudah ahli karena –sedang– menempuh kuliah bahasa Arab. Padahal aku sendiri masih sangat butuh belajar dan memperbaiki di berbagai sisi dari bahasa Arab ini.

Ketiga, karena aku juga seorang ibu rumah tangga, aku gak ingin nantinya ada yang tergerak untuk ikut jejak aku kuliah dengan alasan, “Mba Siska aja kuliah, aku juga jadi pingin.” Padahal keputusan ini bukan keputusan yang singkat. Keinginan ini bukan muncul tiba-tiba dan sampai di tahap ini juga lama sekali karena mempertimbangkan kewajiban aku yang utama.

Aku malah sedih kalau ada yang kemudian mengambil keputusan mengikuti “jejakku” sekedar karena emang pingin tanpa mikir faktor terbesar yang harus dipertimbangkan terutama untuk yang sudah memiliki suami dan anak.

Ada alasan lainnya, tapi yang tiga di atas insya Allah sudah cukup mewakili.

Abang Duluan

Kemarin aku sempat cari-cari tulisan berkaitan ini di blog. Ternyata gak aku tulis. Tepatnya kejadian ini setelah kejadian pengajuan beasiswa Brunei di bulan Desember 2014. Dari situ terjadilah perenungan dengan cita-cita kami dan langkah-langkah mewujudkannya.

Sebulan dari kejadian beasiswa Brunei, bulan Januari tahun 2015 bertepatan dengan penerimaan mahasiswa baru di Ma’had Aly Jogja. Sudah ada Luma di usia baru mau menginjak satu tahun. Aku udah tanya-tanya info berkaitan bolehnya membawa anak bayi saat kuiah. Dengan semangat gegap gempita, kami merasa langkah awal kuliah bahasa Arab perlu dilakukan. Aku dan Abang udah diskusi dan bersiap diri untuk daftar bareng. Menyiapkan mental untuk berpeluh bersama mengingat anak-anak yang masih kecil-kecil banget. Ziyad 8 tahun, Thoriq 4 tahun dan Luma yang baru mau berusia 1 tahun.

Qodarullah…semuanya yang terbaik dari Allah. Di momen-momen pendaftaran itu, anak-anak sakit bergiliran. Tau sendiri ya kalau anak-anak sakit itu, kalau berentet itu, kalau ditotal bisa sampai sebulan sebenarnya dari tahap satu anak sakit sampai ketiganya sakit. Belum lagi juga secara fisik dan mental aku juga udah bakal kekuras.

Aku yang sempat kecewa dengan kejadian beasiswa Brunei dan udah semangat mau melakukan langkah kehidupan selanjutnya, ternyata harus berlapang dada, bahwa memang kenyataannya, ini bukan waktu yang tepat untuk aku untuk belajar bahasa Arab.

Aku masih harus fokus ke anak-anak. Masih fokus ke Abang juga, karena di proses selanjutnya, aku yang gak kuliah dan fokus ke anak-anak bisa dibilang merupakan bentuk “dukungan” ke Abang. Karena memang untuk kuliah di Ma’had Aly, waktu dan tenaga Abang juga cukup tercurahkan ke sana karena kuliah yang dijalankan offline full setengah hari–dari siang sampai Maghrib kadang bahkan sampai Isya– disertai tugas dan perjalanan ke sana juga perlu perjuangan, yang berarti Abang sudah letih secara fisik juga. Belum lagi juga Abang tetap harus mengerjakan pekerjaan dan tanggung jawabnya di Yufid.

Menyimpan Asa

Entah tahun berapa, Abang memberitahu bahwa ada seorang ikhwan yang bisa dapat beasiwa doktoral bahasa Arab dan menempuh s2-nya di sebuah universitas online (yang sekarang kita ketahui beliau adalah dr. Rizki dan universitasnya tentu saja IOU). Waktu itu, kami sempat mendiskusikan hal ini sebatas, “Berarti aku bisa juga ya, Bang?”

Selain faktor anak-anak, faktor selanjutnya adalah faktor biaya. Belum lagi kemudian ternyata hamil dan lahir kembar. Perjuangan mengurus kembar itu penuh dengan cerita tersendiri.

Bertepatan dengan lahir kembar, tanggungjawab aku di pekerjaan juga bertambah, bahkan lebih berat lagi karena banyak berkaitan dengan tim yang sifatnya intensif berkaitan dengan project-project berkelanjutan yang harus aku mentoring. Tidak seperti tanggung jawab sebelumnya yang urusan dengan tim lainnya hanya sesekali ketika diperlukan saja berkaitan dengan server atau pemograman.

Keinginan belajar bahasa Arab secara intensif itu hanya terobati sebentar-sebentar ketika Abang mengajari aku dari buku belajar bahasa Arab atau memotivasi untuk mendengarkan video bahasa Arab yang biasa Abang ajarkan ke Ziyad.

Terkadang –diam-diam– aku merasa iri karena Abang sudah lebih dulu belajar. Aku merasa Abang gak mengerti bahwa aku juga memerlukan dan menginginkan yang sudah Abang lalui.

Seringkali, rasa dan asa itu hanya menjadi getir karena merasa gak menemukan jalannya. Apalagi kalau dibahas bagaimana caranya biar aku bisa kuliah di Ma’had Aly. Memikirkan berbagai opsi kemungkinannya rasanya malah harus menelan rasa pedihnya karena kemungkinan itu seperti gak ada. Kalaupun menangis, biasanya hanya sesaat karena aku sadar bahwa ini bukan hal yang harus dipaksakan.

Pandemi dan Perjalanan Homeschooling Ziyad dan Thoriq

Ada hal-hal yang berkaitan yang sebenarnya ketika ini dilakukan, aku sama sekali belum berpikir untuk mengambil kuliah di IOU, contohnya saat belajar menulis tulisan Arab yang aku mulai tahun 2019 dan di masa pandemi.

Tahun 2021, aku melihat ada sedikit peluang aku akan memiliki sedikit “waktu luang” karena Ziyad sudah mau lulus SMP dan Thoriq akan lulus SD. Waktu itu Luma masih baru mulai kelas 1 dan kembar masih belajar ringan belajar membaca dan hafalannya pun masih baru pembiasaan.

Aku merasa, insya Allah aku bisa mengambil kempatan waktu luang ini saat Ziyad dan Thoriq sudah masuk ke pondok. Sambil menunggu waktu yang tepat ini, aku harus memanfaatkan masa sekarang untuk hal bermanfaat lainnya. Jadilah aku menuliskan niatan aku ini di sebuah buku. Inget banget waktu itu ambil buku kecil terdekat, kemudian menuliskan niatan aku. Belum memikirkan teknisnya ya. Baru sekedar niat.

Ingat Niat Tersebut

Saat persiapan Ziyad dan Thoriq ke pondok, aku ingat niatan ini. Bertepatan dengan di rumah yang gak ada ART lagi. Rasanya luar biasa sebenarnya waktu itu. Semuanya karunia dari Allah.

Waktu itu, Abang memang memutuskan ngga ambil kuliah seperti aku. Masih menunggu kemungkinan lainnya dari informasi yang Abang dapat. Tentu saja aku banyak berdiskusi dengan Abang berkaitan dengan jurusan yang akan aku ambil. Usaha pencarian info, teknis, dan lain-lainnya cukup mendebarkan karena aku lakukan sendiri dan berusaha gak melibatkan siapapun dan gak ingin diketahui siapapun karena semuanya masih dalam rangka perwujudan rencana. Menjalankan yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ajarkan.

Waktu itu, jurusan bahasa Arab belum ada s2-nya. Yang ada hanya jurusan bridge ke s2 Arab (atau disebut Bridge to Master of Arabic atau disingkat BMAARB atau bisa dibilang Pra S2) bagi telah menempuh s1 yang tidak linier dengan bahasa Arab. Ada jurusan Islamic Studies dan bridge bagi yang s1-nya gak linier. Beda dengan jurusan bahasa Arab, di jurusan Islamic Studies sudah ada s2-nya.

Waktu itu, yang mungkin bikin mikir banget adalah jurusan bahasa Arab di IOU belum ada s2-nya. Kalau ambil BMAARB, berarti nanti lanjut kemana? Gimana kalau mau ambil Islamic Studies? Berarti harus ambil bridge lagi? Gimana kalau ini dan itu?

Diskusi diskusi diskusi. Karena pertimbangannya tentu di waktu dan juga biaya.

Alhamdulillah, dengan mempertimbangkan bahwa ilmu yang aku cari selama ini adalah bahasa Arab, aku menguatkan keputusan untuk mengambil program Bridge to MA Arabic. Waktu itu, aku udah memikirkan step lanjutannya–dengan menganggap gak ada s2 Arabic– di IOU.

Gimana kelanjutannya setelah memutuskan ini?
Insya Allah bersambung ya.

cizkah
Jogja, 22 Februari 2024
Diselesaikan 00:32 PM.

Leave a Reply