Galau SD bagian 2 (My Prespective)

Namanya juga galau. Mesti ada dua atau beberapa pemikiran yang bikin pendapat yang kita pilih jadi goyah. Kalau di postingan kemarin banyak menuliskan apa yang ada di pikiran abang..kali ini buat melegakan yang ada dipikiranku.

Setelah melihat dan mempertimbangkan beberapa hal, entah kenapa aku pada akhirnya cenderung memilih – jika memang akan menyekolahkan Ziyad -, sekolah negeri sebagai pilihan utama. Atau bisa juga pilihan yang lumayan seimbang dengan itu adalah salah satu sekolah muhammadiyah di Jogja. Sedangkan sekolah dasar dekat rumah menjadi pilihan terakhir.

Tapi ini pun ombang-ambing. Bisa jadi bahkan pilihan terakhir mungkin yang akan kami ambil. Hehe..

Sekolah negeri, karena latar belakangku dulu juga disekolahkan di sekolah negeri. Mama Papa, walaupun dengan ekonomi terbatas, berusaha mencarikan sekolah negeri yang berkualitas. Aku juga kurang ngerti kenapa bisa jadi beda-beda (kadang pake banget) antara sekolah negeri yang satu dengan yang lainnya.

Sekolah negeri jadi pilihan tengah-tengah. Karena biayanya tidak semahal SD swasta. Pun jika memilih sekolah yang tepat juga in sya Allah secara pendidikan akademik bagus. Latar belakang ekonomi keluarga masing-masing anak juga merata. Karena secara umum…sebagian besar orang tua ingin anaknya masuk sekolah negeri. Pertimbangan ini muncul waktu sempat menanyakan biaya masuk TK di sekolah Islam swasta di Jogja  – yang bagi kami sangat mahal -. Sempat ada keinginan untuk memasukkan Ziyad ke situ – walaupun biayanya mahal -. Tapi rasanya itu akan tempat bergaul yang kurang tepat untuk Ziyad. Dan lagi rasanya memang kami akan terlalu memaksakan diri jika memasukkannya ke sana.

Secara lingkungan untuk pergaulan rasanya juga menjadi tengah-tengah. Karena beberapa sepupu suami ada yang dimasukkan ke pondok (oh ya..suami masih punya banyak sepupu yang masih kecil-keciiil). Dan pada  kenyataannya, lingkungan pondok pada dasarnya sama aja karena latar belakang pendidikan di keluarga tiap anak juga beda. Ada yang sudah mengenal sunnah…ada yang belum. Dan beberapa hal yang gak bisa aku ceritakan di sini yang memang membuat pondok gak masuk dalam daftar pertimbangan kami.

Sekolah dasar negeri juga menjadi pijakan yang netral untuk nantinya. Artinya kalau nanti SMP mau masuk swasta in sya Allah gampang saja. Beda kalo dari SD sudah swasta, biasanya saat SMP-nya mau ke sekolah negeri agak susah. Ini dari pengetahuan aku yang masih minim ya..hehe..gak tau kenyataannya bener gak kaya gitu.  Aku juga teringat bahwa teman-temanku (maupun teman suami) banyak juga yang berasal dari salah satu SMA Negeri di Jogja, dan banyak sekali dari SMA tersebut yang sudah mengenal manhaj yang benar. Hal ini juga jadi mengingatkanku bahwa pelajaran kesenian yang berkaitan dengan musik…dulu hanya aku dapatkan di sekolah dasar. Selebihnya gak ada alhamdulillah.

TAPIII…sekolah negeri ini begitu umum secara keseluruhan. Pelajaran seni musiknya juga ada. Lalu apakah kami bisa mengkomunikasikan dengan para guru bahwa kami tidak ingin mengikutsertakan anak kami pada pelajaran tersebut? Lingkungan yang benar-benar umum…apakah Ziyad bisa “bertahan” di sana? Hehe..

Masih ada pilihan  sekolah muhammadiyah, yang beberapa pasangan yang kami kenal memilih menyekolahkan di sana. Tapi informasi kami masih minim.

Untuk sekolah islam yang dekat dengan rumah…sebenarnya lumayan. Setahu kami tidak mengajarkan musik. Teman main Ziyad di rumah kebanyakan bersekolah di situ. Satu hal yang paling bikin aku berat menyekolahkan di sana adalah full day. Dalam arti pulang sampai sore. Dan beberapa sebbab pritilan lainnya.

Cuma sebuah catatan. Kalau ada yang punya masukan sekolah negeri yang bisa “kompromi” dan bisa dekat ke sunnah tolong dishare ya.

 

 

8 Replies to “Galau SD bagian 2 (My Prespective)”

  1. Jadi ingat temen di Pamulang. Dia dulu sempat galau2 gitu jg kayak Mba nciz.
    Putrinya akhirnya skolah di SDIT deket rumahnya. Berhubung sekolahnya ini (walo berlabel islam) punya eskul drumband, nari, gambar, dll, akhirnya umminya yang banyak ngejelasin kgiatan2 di sekolah yg gk sepaham dgn didikannya di rumah.
    Lucunya, anak itu pas misalnya ditanya2in gurunya “kenapa semua gambar binatangnya gak ada matanya, sayang?” (anak itu memang hobi banget gambar—> kok kayak ziyad ya?). Langsung dong dijawab dgn polosnya “Emang nggak boleh bu guru. Ini kan ciptaan Allah. nanti gambarnya Allah suruh hidupin pas hari kiamat kl kita gambar ada matanya.”
    Anak itu mendadak Ustadzah gitu deh di sekolahnya, mungkin krena anaknya pintar ngomong jg. Trus krena selalu ranking 1 di kelas & di klub gambar, guru2nya gk ada yg berani komplen ke umminya.
    Guru2nya malah suka cerita ke umminya kalo anaknya sering nyeramahin guru-guru soal jilbab atau lain2 yg gk sepaham.
    Semoga dikasih pilihan terbaik ya Mba. Semoga Bang Ziyad juga tetap istiqomah di manapun nanti sekolahnya..
    Eh, kok jadi banyak bgt gini ya komennya. Afwan ya Mba menuh2in. Barakallahu fiik.

    1. Iya nih La…ana juga berharap gitu.
      Gpp ko…seneng dapat cerita seperti itu. ^^

  2. Pusing ya Ciz mencari tempat pendidikan untuk anak…aku semakin galau deh setelah baca tentang homeschooling..dan pas banget kolega di kampus juga memilih homeschooling untuk anak2nya..terus suami juga mengirimkan artikel ini http://azaleav.wordpress.com/2013/08/01/inspirative-housewife-story/…tapi mungkin masih relatif jauh kalau untuk aku memutuskan homeschooling (gak percaya diri punya kemampuan untuk ngejalanin homeschooling 🙁 )

    Di daerah cirendeu, ciputat sampai bintaro banyakk banget sekolah swasta bernafaskan/berbasis islam…tapi tidak semua menerapkan secara holistik ke dalam sistem pendidikan/perangkat pendidikan..salah satunya dari segi pakaian..untuk siswa perempuan banyak yang menerapkan seragam umum bukan pakaian muslim & kerudung/jilbab…sudah ada beberapa kandidat sekolah swasta yang memenuhi kriteria dari segi pendidikan islam..tapi kendalanya jarak yg jauh plus biaya masuk dan SPP yang premium…aku dan suami pengen masukkin yasmin ke SDIT tersebut…tapi suka mikir..kok mahal banget ya?? hihi ini pelit ato gimana sih orangtuanya..

    makanya sekarang lagi melirik beberapa Madrasah Ibtidaiyah Negeri..dengan harapan biaya yg lebih ramah namun tetap memberi lingkungan akhlak yang baik..hehe jadi numpang curhat galau juga niy..semoga dimudahkan untuk memilih jenis/tempat pendidikan yang sesuai untuk anak2 kita ya ciz..aamiin

    1. Iya Na…udah baca juga artikel itu. Keren emang masya Allah.

      Pusing tentang sekolah untuk anak2 udah lama..dari Ziyad umurr….2 tahun haha…Kecepatan mikir atau gimana. Waktu itu suami ngomong, “Ya mudah2an 3-4 tahun lagi udah ada sekolah yang bla bla bla..”

      Ternyata makin ke sini makin deg2an…Dan akhirnya malah seperti postinganku di atas.

      Sampe kepikiran..rasanya pingin deh ke suatu daerah yang adem ayem, masih desa tapi bukan terbelakang :D. Yang pikiran anak-anaknya (yang itu penting banget karena jadi faktor lingkungan yang bakal berpengaruh besar ke polah anak kita juga kan), belum terkontaminasi dengan pikiran aneh2 (baik dari televisi atau orang dewasa di sektiarnya).

      Tapi dimanaaaaa….?? hehehe..
      Mesti banyak doa yah buat anak kita dan keturunannya…karena kita in sya Allah berupaya semampu kita dan serahkan semuanya sama Allah. (menenangkan diri sendiri)

  3. Hmm…saya juga sempat punya pikiran kelak kalo saatnya Alifa SD, mau saya masukin SD negeri aja. Pertimbangannya juga karena masalah waktu belajar yg terlalu lama kalo menurut saya. Apalagi, saya juga pernah merasakan sejak SMP-SMA di sekolah fullday (dari jam 6.45 sampai 16.00 belajarnya)…wah…nyesel ngga bisa menikmati masa remaja dengan lebih dekat sama orangtua. Belum lagi kalo harus ada kegiatan atau bimbel. Sampai rumah cuma sempat minta makan dan tidur. Hehehe…

    Tapi, setelah mencoba mengenang kembali masa-masa dulu di sekolah…SD Negeri pun bukan pilihan yg tepat. Apalagi, untuk yg sudah ngaji katakanlah.

    Pengalaman dulu di SDN, saya justru dibully sama guru sendiri. Terutama guru nasrani. Kalau berenang, harus lepas jilbab, campur sama anak-anak laki-laki. Dan perlakuannya beda karena tahu ibu saya bercadar. Waktu itu, ibu saya sudah nulis surat ke sekolah, bahwa saya lebih baik duduk sama perempuan, eh…tetap saja dengan anak laki-laki duduknya karena alasan keadilan buat semua murid.

    Pelajaran di sekolah juga banyak yg mubadzir. PPKN, P4 -jaman saya dulu masih ada suruh ngapalin P4-. Sedangkan pelajaran agama cuma seminggu sekali. Belum lagi les privat yg dibuat oleh guru kelas sendiri. Yang ikut les dapat bocoran soal ulangan, yang ngga ikut ngga dapat. Pokoknya…banyak sesuatu yg ngga adil deh.

    Walaupun bukan jaminan sekolah Islam swasta lebih baik, karena toh nyatanya saya di SMP-SMA IT juga banyak yg pacaran, bahkan MBA. Jilbab cuma dipakai di sekolah, di luar pakainya singlet saja. Tapi…sekolah di swasta jauh lebih mendekatkan murid kepada gurunya. Mmm…optional juga sih sebenarnya ya. Tapi, itu yg saya rasakan.

    Maka…eng ing eng….homeschooling saat ini adalah yg terbaik menurut saya. Kita benar-benar bisa memilih metode dan materi apa yg dibutuhkan anak, sekaligus mengawasi penuh proses KBM. Kalaupun toh harus panggil guru, kita juga bisa milih guru yg benar-benar bisa mendidik dengan baik. Bukan hanya sekedar titel sarjana pendidikan, jadi guru, tapi sama sekali tidak bisa mendidik.

    Ummm…kalau misalnya…ini misal…cuma butuh materi dan ingin ikut ujian saja, mba siska bisa tanya ke HS ibu saya. Kalau tidak salah, boleh kok hanya datang saat ujian saja. Nanti materi diambil atau dikirim lewat email. Waktunya ujian baru datang.

    Semangat terus ya mbak!

    1. waah..jazakillahu khayron atas komentarnya ichaa…
      sejujurnya..apa yang icha tuliskan itu juga ana rasakan pas sekolah dulu..
      guru juga suka pilih kasih (tapi ini di swasta juga ada kali ya :D), ana termasuk anak yang gak pernah ikut les macem2…jadi ya gak pernah dapet bocoran atau dapat intrik2 rumus untuk ngerjain soal…:D.

      dan emang itu juga yg ana khawatirkan..kalo sekolahnya ternyata yang ortunya bercadar cuma Ziyad..terus Ziyad dapet perlakuan beda krn itu..hikkks..

  4. bismillah…lg galau jg nih mbak, sebenarnya mnrt ana HS lbh baik dan lbh ringan..tp, muhammad&khadijah sekarang malah mintanya sekolah lg..ga tega ‘ngecewain’ mrk..
    dan dlm proses menghafal, anak-anak banyak yang lupa surat yang sdh dihafal, mungkin krn muroja’ahnya ga seintens di sekolah (tahfidz pagi dan sore). kalau muroja’ah dirumah, baca 2halaman (1surat panjang) sudah capek. jadi galau juga soal hafalan anak, ana tambah aja atau muroja’ah dl yang sdh terlupa? kalau hafalan surat baru, mereka semangat mbak..barangkali ada masukan dr mbak siska….

    1. ana ko kebalik ya nik ngerasanya…
      di rumah itu justru bisa intens in sya Allah.
      memang yg diperlukan pas awal memang membiasakan belajar..setoran..
      menemukan cara yang tepat utk masing2 anak…menemukan waktu yg tepat juga..
      ziyad juga bertahap bgt ko dr mulai banyaknya hafalan…setorannya..

      in sya Allah kapannanti ana post ttg proses hafalan ziyad yg terbaru.

      kalo misalnya sekolah berdasarkan pengamatan anik gak memberikan pengaruh negatif ke anak..gpp jg kalo sekolah nik..
      intinya gimana hasilnya baik untuk semua in sya Allah hehe…
      tapi kalo cuma karena anak minta…pdhl itu kurang baik utk mereka…ya gak mesti dipenuhi..
      kan anak gak tahu mana yang baik mana yg buruk…taunya enak di sekolah bisa main2 ketemu temen2..

Leave a Reply to Ella Cancel reply