Cerita ini adalah kejadian yang baru saja terjadi di bulan Oktober 2024 ini. Suatu malam, aku sedang keluar rumah bersama Abang. Biasanya sekali keluar kami sekalian menyelesaikan berbagai hal. Sampailah kami di apotek yang letaknya di depan Superindo. Abang memesan roti bakar langganan yang berjualan di depan apotek Aku masuk ke apotek membeli beberapa obat. Ketika keluar, aku keingat susu di rumah sepertinya udah abis juga. Mumpung sedang di depan Superindo, aku ajak Abang ke sana.
Ketika mau menyebrang, tiba-tiba seorang ibu tua berjilbab menyapa Abang. Abang menjawab dan beramah tamah. Sang ibu masih terus mengajak Abang bercakap-cakap. Kami tetap dalam posisi bersiap menyeberang, tapi juga menunda karena membiarkan sang ibu menyelesaikan omongannya. Aku yang masih belum tahu siapa sang ibu hanya memberi gesture senyum ramah tapi tidak ikut dalam percakapan.
Saat jalan kosong, Abang menyudahi pembicaraan dan kami menyebrang ke superindo. Setelah menyebrang, baru aku ketahui sang ibu adalah seorang pemulung. Kami tidak berlama-lama di Superindo karena berniat segera pulang. Ini karena sebelumnya kami sudah ke tempat lain, di antaranya ke Prima Fresh. Kami membeli stok ayam untuk sekitar 4 hari. Belanjaan itu kami masukkan di tas tertutup dan diletakkan di bagian depan motor Revo. Aku pikir, setelah dari Superindo, membayar roti bakar, kami bisa segera pulang. Ternyata yang terjadi kemudian benar-benar di luar rencana.
Sang ibu pemulung masih ada di sana, di dekat penjual roti bakar. Beliau mengajak Abang bercakap-cakap lagi karena Abang sedang membayar roti bakar. Sang ibu kemudian mulai bergerak ke arahku yang sedang menunggu di dekat motor. Abang sempat memberikan satu bungkus roti bakar yang kami pesan. Sang ibu menolak, katanya sudah dibikinkan sang penjual roti bakar. “Gpp Bu, insya Allah ini bisa tahan 2-3 hari,” kata Abang.
Sang ibu menghampiri dan menyalamiku. Kami berkenalan. Perawakan sang ibu lebih kecil dariku. Memakai jarik, kebaya sederhana dan sendal jepit. Semuanya lusuh. Karung wadah mengumpulkan barang bekas sepertinya diletakkan di dekat penjual roti bakar yang ternyata sudah dikenalnya sejak 8 tahun yang lalu. Dengan cepat, aku langsung bisa paham bahwa sang ibu tinggal di dekat rumahku. Memang tempat tinggal kami dekat dengan pengepul dan pengumpul sampah. Ada pemulung-pemulung yang tinggal di situ.
Aku pikir ini akan jadi obrolan singkat di pertemuan singkat yang biasa terjadi ketika ketemu seseorang di jalan. Perkiraan ku salah. Sang ibu terus mengajak bicara. Tentu saja aku juga berusaha menanggapi pembicaraan sang ibu. Tapi aku heran karena Abang seperti tidak menunjukkan tanda-tanda membatasi percakapan. Justru Abang menanggapi dan memancing pertanyaan baru.
Rasanya cerita-cerita jalan kehidupan sang ibu terangkum malam itu. Bagaimana beliau menikah di Papua dengan laki-laki asal Kalimantan. Beliau yang memutuskan pulang ke Jogja membawa anaknya —kusimpulkan tanpa suaminya. Bagaimana anaknya saat SMA hamil di luar nikah dihamili seorang laki-laki keturunan suatu suku atau etnis. Tapi laki-laki yang menghamili anaknya gak mau bertanggung jawab.
“Cantik, Mba,” ucap sang ibu sambil menghadapkan mukanya ke mukaku. Kubayangkan bagaimana perpaduan Jogja dan Melayu. Kubayangkan anaknya berwajah manis.
Gaya cerita sang ibu patah-patah, melompat dari satu cerita ke cerita lainnya dengan cara pengucapan yang kurang jelas. Kadang bercampur bahasa Jawa. Aku berusaha keras menangkap, memahami dan merangkai semua cerita menjadi satu kesatuan agar bisa merespons percakapan dengan sang ibu.
Ibu pemulung bercerita kalau anaknya meninggal saat melahirkan di Sardjito. Pendarahan. Anak perempuannya melahirkan anak kembar laki-laki. Sekarang cucunya di pondok yatim. Cucu kembar sang ibu kini berusia 16 tahun.
Abang memberitahu juga punya anak usia 17 tahun. “Anak saya 5, Bu. Yang tinggi itu…sama ada lagi laki-laki adiknya. Yang ketiga perempuan yang biasa main sama kembar. Itu anak saya juga,” kata Abang.
Pembicaraan tentang kembar, pondok karena sang ibu mengenali anak-anakku. Kholid dan Handzolah ternyata pernah diajak bercakap-cakap sang ibu. Sang ibu bilang, “Saya kalau manggil masnya mas ustadz.” Sang ibu sepertinya menyamakan umurku dengan umur anaknya yang sudah meninggal.
“Oh..mba.. berarti bener…umurnya 40-an?”
“Iya, Bu…” jawabku sambil tertawa kecil.
“Ohh…masih kelihatan muda soalnya.”
Abang sempat senggol aku sedikit mendengar ucapan sang ibu.
Ibu pemulung masih meneruskan bercerita. Bagaimana beliau bekerja memulung di malam hari ikut dengan pengepul. Tentang sholatnya di masjid. Tentang aturan di salah satu masjid yang pernah beliau singgahi. Bagaimana beliau pernah disarankan oleh penjaga masjid untuk sholat di lantai atas. Menunjukkan papan penunjuk yang beliau tidak bisa membacanya. Dari situ beliau membahas bagaimana bacaan sholat beliau. Sebisanya.
Melompat ke cerita bagaimana tasbih yang dikalunginya sering diminta oleh penjual-penjual. Biar laris katanya. Tapi sang ibu menjawab kepada setiap yang meminta, “Mintanya sama Allah.”
Sekitar pertengahan dari lamanya kami bercakap-cakap, aku sempat memberi sesuatu kepada sang ibu. Belakangan aku baru dapat penjelasan dari Abang terkait beberapa cerita sang ibu yang aku gak bisa pahami. Kata Abang, sang ibu bilang kalau besok mau nengok cucu kembarnya karena sudah ada bekal. Aku gak paham ketika sang ibu ngomong ini.
Yang aku tuliskan di sini baru sebagian dari yang diceritakan sang ibu.
Aku yang sebenarnya sudah lelah, sudah berganti-ganti posisi berdiri selama pembicaraan itu. Berpindah posisi, dari sisi sebelah kanan…sebelah kiri… Meletakkan belanjaan susu di motor. Mengambil lagi. Sempat menyadari kalau ayam-ayam yang kami beli di Prima Mart sudah mulai mencair. Cucuran air menetes-netes dari tas bungkusan di depan. Aku hampir saja menjadikan itu sebagai alasan untuk menyudahi percakapan.
Tapi ya Allah….Rasanya kurang tepat kalau aku bilang di depan sang ibu kalau ini adalah tas belanjaan isi ayam. Apakah engkau bisa merasakan yang aku rasakan? Kesulitan hidupnya tercurahkan malam itu. Aku gak bisa membicarakan “ayam” di depan sang ibu. Aku baru ngomong sepatah ke Abang, tapi kata-kataku tertahan ditambah lagi reaksi Abang yang juga seperti mengalihkan agar sang ibu tidak fokus ke aku dan apa yang aku katakan.
Yang menambah keluarbiasaan malam itu adalah ada sosok laki-laki tua yang seperti ingin ikut serta dalam pembicaraan tapi omongannya tidak jelas. Setelah mendekat, ngomong gak jelas, kemudian menjauh lagi. Aku setengah mengira-ngira, “Apakah ini suami sang ibu yang sekarang? Tapi kok sang ibu juga kelihatan tidak peduli dengan sang bapak tua?” Aku juga gak terlalu menanggapi sang bapak tua karena gak tau ini siapa. Khawatir salah tanggap dan salah bersikap.
Setelah satu jam-an ngobrol dengan sang ibu, akhirnya kami bisa pamitan ke sang ibu pemulung.
Setelah sampai rumah, aku baru paham bahwa itu adalah pak M yang sering diceritakan anak-anak. Bapak tua yang bisa dibilang setengah gila. Kadang terlihat normal, tapi lebih sering tidak normal. Anak-anak di kampung sini biasanya takut —walau ada juga yang mengejek. Anak-anak disarankan menjauh karena tidak tahu kemungkinan hal yang dilakukan. Tapi Abang cerita kalau ketemu dengan beliau di jalan, Abang sering bersikap seakan-akan dia adalah orang yang normal. Abang beri salam.
Abang juga cerita kalau sebenarnya Abang sudah sering diajak bercakap-cakap dengan sang ibu. Sebenarnya, Abang sudah sering mencoba seperti yang dilakukan Rasululllah ﷺ. Ada salah satu hadits yang menceritakan bagaimana Rasululllah ﷺ diajak ngomong oleh seorang wanita di tengah jalan. Rasululllah ﷺ meladeni sang wanita sampai wanita tersebut puas berbicara. Di salah satu penjelasan, ternyata wanita itu kalau diistilahkan salah satu ustadz “gak genap”.
“Tapi Abang selalu kalah, Dek,” selalu Abang yang menyudahi pembicaraan. Aku kebayang deh. Yang baru saja aku alami aja sepertinya sang Ibu masih mau terus cerita saat kami sudah pamitan. Harus kami yang menyudahi.
Hadiah dari Ibu Pemulung
Beberapa hari dari kejadian itu, aku sedang qoilulah. Kami semua sedang qoilulah. Aku bahkan masih sangat kurang tidur karena ada aktivitas malam hari yang aku kerjakan. Tapi aku mendengar ada suara salam beberapa kali disertai suara derit pintu garasi kami yang terbuat dari seng berbahan galvalum.
Aku terbangun dan cuma bertanya ke Abang, “Siapa ya, Bang?” Abang juga terbangun. Kami mencoba mendengar suara yang terdengar dari luar. Abang menjawab, “Ibu yang kemarin itu.”
“Ohh…” aku gak sanggup bangun dan buka pintu. Alhamdulillah ternyata sang ibu sudah tidak mengetuk lagi.
Ternyata ketika waktu Dzuhur, Thoriq yang mau berangkat sholat mendapati ada bungkusan isi jeruk dan anggur di pintu luar. Isi jeruknya cukup banyak. Aku cukup kaget kenapa sang ibu memberikan sebanyak ini. Ada anggur pula.
Anak-anak sudah senang dan mengira ini adalah buah yang bisa mereka nikmati. Aku mengambil bungkusan anggurnya dengan niat mencucinya. Dari situ aku lihat kondisi anggurnya sebagian besar sudah mulai membusuk. “Bang ini udah banyak yang busuk.”
Tapi aku tetap mencoba memotong bagian-bagian yang busuk. Kemudian aku cicipi meyakinkan. Ada sekitar 8-10 belahan anggur yang cukup layak makan.
Ziyad yang pulang masjid sempat langsung mengambil satu buah jeruk di plastik. Tapi dia bilang, “Pahit, Mi jeruknya.”
Aku langsung melihat lebih teliti bungkusan isi jeruk. Aku pegang satu persatu dan lihat.
“Bang, ini jeruknya busuk semua,” aku ngomong ke Abang sambil sekalian memberitahu anak-anak. Berarti jeruk ini gak bisa dimakan.
Perkiraanku yang muncul pertama kali cuma satu aja berdasarkan berbagai cerita yang aku dengar dari sang ibu pemulung. “Mungkin ada penjual buah yang ngasih ke ibunya tapi yang dikasih ternyata buah busuk,” aku menjelaskan ke anak-anak.
“Kasihan ya..,” kata Abang. “Ibunya tapi berusaha berbuat baik.”
–
Sorenya, saat aku sedang di belakang, ternyata ada yang mengetuk. Kebiasaan di rumah kami memang anak-anak dulu yang menemui tamu yang datang. Jarang-jarang langsung aku yang menerima tamu karena gak memungkinkan kalau langsung keluar karena harus pakai jilbab dulu. Thoriq keluar menemui sosok yang mengetuk. Gak lama Thoriq sudah masuk lagi.
Thoriq langsung bisa paham tamu yang barusan adalah ibu pemulung yang aku dan Abang ceritakan. Thoriq bilang, “Ibunya bilang, itu tadi ibunya nemu itu dimana gitu..gak jelas ngomongnya…pokoknya terus ibunya kumpulin dan kasih. Ibunya mau ngasih tahu kalau ibunya yang tadi ngasih itu.”
Aku sama Abang saling pandang dan sama-sama berusaha memahami situasinya.
Seperti kuceritakan sebelumnya. Sang ibu ketika bicara memang sedikit kurang jelas. Apalagi kalau campur bahasa Jawa. Tapi kami sudah bisa sedikit paham dari yang disampaikan Thoriq dikaitkan dengan pekerjaan sang ibu. Sang ibu mungkin menemukan buah-buah itu di suatu gerobak atau keranjang. Beliau teringat aku dan Abang. Aku membayangkan beliau bergembira dan mengumpulkan buah-buahan itu dan membawakannya untuk kami sebagai hadiah.
Kami ceritakan dan jelaskan ini ke anak-anak. Ziyad masih di kampus sore itu.
“Nanti kita cerita ke bang Ziyad, insya Allah.” Sambil ketawa Abang bilang ini karena udah tau karakter dan kemungkinan respons Ziyad. Abang yang suka iseng ditambah Ziyad yang suka hiperbola kalau bereaksi. Karena yang makan jeruknya di rumah cuma Ziyad.
Saat makan malam, kami ceritakan ini. Ziyad langsung memasang muka respons kaget berlebihan. “Ziyad makan semuanya gak tadi?” Aku langsung menganalisis hehe. Khawarir dia sakit perut. “Engga, cuma baru nyicipin aja. Terus gak jadi karena pahit itu.”
Obrolan makan malam kami membahas hal ini. Itulah normanyal bagi sang ibu. Kehidupannya ya memang seperti itu. Bagi beliau, makan buah yang ditemukan di jalan dan dianggap masih bagus itu adalah normal. Kalau kemudian beliau memberikan ke kita, itu gak dianggap sebagai suatu yang aneh atau gak sopan. Kita malah kasihan dan maklum dengan apa yang dilakukan sang ibu. Bukan merasa terhina atau menganggap sang ibu gak sopan.
Begitulah normalnya kehidupan sang ibu. Kita yang harus berempati. Bukan sang ibu yang harus dipaksa “memahami” kehidupan kita.
Motor dan Mobil
Saat menuliskan ini, aku sempat berbagi cerita di instagram tentang cara perjalanan kami naik motor bersama anak-anak. Sebenarnya fokus cerita ke toko buku bukan tentang teknis perjalanannya. Tapi memang “kebetulan” potongan cerita yang aku bagikan adalah di bagian aku membonceng dua anak dan Abang juga membonceng dua anak.
Malam setelah aku membagikan potongan cerita itu di instagram, ada pesan masuk dari seseorang. Memberi salam sambil mengirimkan postingan tentang bonceng, kemudian menanyakan atau juga mungkin dengan maksud mengkritisi, bukankah ada aturannya cuma boleh 2 penumpang termasuk yang mengendarai? Apa ada aturan baru yang tidak dia ketahui mengenai bolehnya ini?
Jawabanku?
Tentu saja aku tahu. Semua orang mungkin tahu. Aku bahkan pernah membagikan gambar aturan itu di story whatsapp.
[Waktu membagikan ini di whatsapp, aku sambil memberi tebak-tebakan bagaimana caranya membawa tiga anak dengan satu motor?]
Kujelaskan dengan mengajak berpikir. Kalau ada keluarga, punya anak satu dan motor satu. Ketika dia membonceng istrinya, apakah anaknya harus ditinggal dalam rangka harus mematuhi aturan 2 penumpang ini?
Kukatakan bahwa realita kehidupan gak bisa berjalan ideal seperti di aturan. Bisa dilihat di jalan-jalan bagaimana sebenarnya penerapannya.
Setelah menjawab itu, aku berbalik bertanya, “[Kusebut namanya] pengguna mobil kah?”
Tapi pertanyaan terakhirku ini tak mendapatkan jawaban darinya.
Aku bertanya balik sebenarnya untuk mengajak berpikir dan empati. Dari pertanyaannya, aku bisa sedikit mengira bahwa kemungkinan sang penanya bukan pengguna motor. Bukan yang pernah mengalami diboncengi orang tuanya atau juga bukan yang pernah mengalami harus diboncengi suami sambil membawa satu anak, dua anak atau bahkan tiga anak.
Mungkin, normalnya bagi dia adalah HARUS taat pada aturan yaitu satu motor hanya untuk dua orang. Pengendara dan yang diboncengi.
Saat ada yang meboncengi lebih dari satu orang itu suatu kesalahan. Kalau bawa anak, mungkin satu-satunya jalan yang ada dipikirannya adalah pakai mobil.
Mungkin selama ini, realita di jalan-jalan raya kurang terlihat atau tidak terlihat olehnya. Sama seperti cerita para pengajar privat yang mengajar anak-anak yang dikatakan anak sultan. Terkadang mereka mendapat pertanyaan polos dari anak didiknya. “Sir kehujanan? Sir emang gak punya mobil. Hah? Kok bisa sir gak punya mobil.” Kisah nyata pengajar lainnya bisa dilihat di sini.
Semoga Allah mudahkan kehidupanku dan teman-teman semuanya yang berjuang membawa keluarga dengan kendaraan yang dimiliki. Semoga Allah berikan hidayah taufik padanya.Terima kasih kepada semua pihak yang memaklumi keadaan ini di jalan-jalan.
Semoga Allah lembutkan hati kita. Kenyamanan yang kita miliki, semoga tidak melemahkan empati.
cizkah
28 Oktober 2024
Yang salah itu mba, ak prnh lihat bawa anak 3 naik motor kecil2 nga ada yg pake helm dan istrinya dibelakang sambil ngonten🥲
Tapi baca cerita mba Siska, ak jadi kayak ngalamin sendiri. Karena suami juga modelan nya sama kayak mba Siska, kl ada yg ngajak ngobrol bisa lamaaaa, pdhl kita Uda nga nyaman, bukan Krn dia suka ngobrol TPI Krn dia bnr2 menghargai org yg ngmg itu, dan biasanya dia ceritakan hikmah2 ke aku dr obrolan2nya yg ak anggap ‘kurang’ begitu penting itu
Sebenarnya ini gak bahas “mana yang salah”. Tapi lebih fokus untuk empati 🙂